Kamis, 25 Desember 2008

Sosial-Kemasyarakatan:Pertuni Lampung Masih Tertinggal

Lampung Post, Minggu, 10 Februari 2008

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Perkembangan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) di Lampung masih tertinggal jauh dari provinsi
lain di Jawa.

Sejak berdiri 20 Desember 1974, Pertuni Lampung belum terakomodasi dalam sebuah aturan khusus oleh pemda. Selain itu, aktivitas berorganisasi juga masih
terbatas karena ketidakmampuan finansial.

"Padahal, Pertuni Lampung berdiri pertama kali di Sumatera dan yang kesembilan di Indonesia," kata Ketua Dewan Pertimbangan Pertuni Lampung Ridwan Effendi,
Sabtu (9-2), bertepatan dengan peringatan HUT ke-42 Pertuni.

Menurut Ridwan, sejumlah Pertuni di Indonesia sudah diakomodasi dalam Perda. Antara lain Pertuni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, NAD, dan Sumatera Utara.

Menurut dia, Perda akan memperjelas keberadaan Pertuni sebagai ormas yang beranggotakan penyandang tunanetra. Aturan yang jelas juga akan memudahkan kegiatan
mereka.

Pertuni Lampung sudah menyampaikan usulan itu kepada Pemprov Lampung. Saat Rapat Kerja Daerah (Rakerda) 29 Oktober 2007 lalu juga telah merekomendasikan
usulan itu kepada pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten. "Tapi, belum ada respons," kata Sekretaris Pertuni Lampung Daman Purnama. */X-2

Federasi Tunanetra Jerman Bantu 60 Tunanetra Aceh

Republika, Selasa, 20 Desember 2005

Banda Aceh-RoL –
Federasi tunanetra Jerman, menyalurkan berbagai bantuan kemanusiaan kepada sebanyak 60 orang kaum senasib (tunanetra) dari berbagai kabupaten/kota
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang tergabung dalam Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni).

"DPP Pertuni telah bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri untuk meringankan beban masyarakat tunanetra di NAD, terutama mereka
yang telah kehilangan tempat tinggal dalam musibah gempa dan tsunami akhir tahun lalu," kata Ketua tim bantuan untuk masyarakat tunanetra NAD, Tri Bagio,
di Banda Aceh, Selasa.

Bantuan untuk masyarakat tunanetra di NAD itu berhasil dikumpulkan pasca bencana alam gempa dan tsunami, 26 Desember 2004, itu atas kerjasama dengan berbagai
pihak, seperti Ikatan Alumni Sekolah Luar Biasa (SLB) Pemalang, Christofel Blinden Mission (CBS) dan Federasi Tunanetra Jerman.

Disebutkan, bantuan masa tanggap darurat yang disalurkan dari Tunanetra Jerman dan donatur lainnya itu antara lain berupa alat tulis Braille sebanyak 280
buah, mesin ketik kepada tujuh SLB, tongkat putih 280 buah dan beasiswa untuk 52 siswa yatim piatu selama setahun dengan nilai sebesar Rp50.000/bulan.
Selanjutnya, bantuan sembako senilai Rp200.000/orang untuk lebih dari 272 orang serta peralatan rumah tangga bagi yang sudah berkeluarga masing-masing
senilai Rp50.000 kata Tri Bagio.

Bantuan lainnya yang disumbangkan federasi tunanetra Jerman pada masa rekonstruksi, tambah dia, antara lain merenovasi terhadap 75 unit rumah tunanetra
dengan rincian masing-masing memperoleh sebesar Rp10.000.000/unit. Sebanyak 27 unit rumah tunanetra yang rusak parah akan dibangun kembali dengan rincian
anggaran masing-masing memperoleh bantuan sebesar Rp28.000.000, kata Tri Bagio.

Selain itu, Pertuni juga menurunkan tim layanan lemah penglihatan (low vision) untuk mengidentifikasi jumlah penyandang lemah penglihatan baik dari anak-anak
maupun kelompok orang dewasa di provinsi ujung paling barat Indonesia ini. "Tim itu dibentuk guna mengetahui jumlah penyangdang lemah penglihatan dan teknik
penanganannya baik secara medis, rehabilitasi dan pendidikan akibat bencana alam tsunami," kata dia.

Tunanetra Jakarta Butuh Alquran Braile

Republika, 29 Nopember 2007

Lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dibawakan Sapto Waluyo (26 tahun) menggema di ruang pertemuan SLB Lebak Bulus
Jakarta Selatan Selasa (27/11) siang lalu. Kekurangsempurnaan panca indranya, sama sekali tak membuat mahasiswa semester delapan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini patah semangat untuk mempelajari kalam ilahi.

Pemahamannya yang baik di bidang Ilmu tajwid, melengkapi suaranya yang indah dan jelas saat dia mengaji. Banyak wartawan dan staf BP ZIS (Badan Pengelola
Zakat, Infak dan Sedekah) Bank Mandiri merasa haru mendengar suara emas Sapto Waluyo. Suaranya pun sangat indah dan jelas membaca hurup demi hurup dari
Alquran Braile. Dia yang cacat saja, begitu indah bacaanya. Bagaimana dengan kita yang sempurna seluruh panca indra,'' tandas seorang wartawan haru.

Menurut Bayu Iwan Yulianto, ketua Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) DKI Jakarta, saat ini tidak sedikit tunanetra yang membutuhkan kitab suci Alquran
Braile. ''Menurut catatan tahun 2003 jumlah tunanetra yang terdaftar di Pertuni Jakarta sebanyak 4.000 orang lebih. Sedangkan Alquran Braile yang baru
dimiliki sebanyak 500 set,'' ujar Bayu kepada Republika.

Bahkan dalam catatan Yogi Madsuni, ketua I Pertuni DKI Jakarta, saat ini jumlah tunanetra yang ada di wilayah Jakarta tak kurang dari 7.000 orang. ''Kalau
Alquran Braile yang baru dimiliki oleh lembaga maupun perorangan baru sebanyak 500 set, maka Alquran Braile yang dibutuhkan masih sangat banyak. Inilah
perlunya kami mendapatkan uluran tangan seperti yang dilakukan BP ZIS Bank Mandiri hari ini,'' tegas Yogi penuh harap.

Baik Bayu maupun Yogi sepakat, kebutuhan terhadap Alquran Braile di Jakarta masih cukup besar. ''Dan harus diakui hingga kini karena alasan percetakan dan
sebagainya, harga per unit Alquran Braile cukup mahal, ada yang harganya Rp 800 ribu, Rp 1, 2 juta ada juga yang harganya sampai Rp 1,5 juta. Jadi, bagi
kami yang tunanetra, harga Alquran Braile masih sangat mahal,'' kata Bayu.

Direktur BP ZIS Bank Mandiri, Taufik Hidayat menjelaskan, lembaganya sangat komitmen untuk membantu para tunanetra lebih mendalami kitab suci Alquran Braile.
Kepedulian pihaknya terhadap tunanetra dengan membantu menyediakan Alquran Braile sudah dilaunching dua tahun lalu. Waktu itu pihaknya sempat undang Ustadz
Yusuf Mansur untuk mengadakan taushiyah sekalian menyerahkan bantuan kitab suci Alquran Braile yang waktu itu terkumpul bantuan sebesar Rp 26 juta yang
kami serahkan ke lembaga tunanetra di Cipondoh Tangerang.

''Hari ini yang bisa kami serahkan 10 set Alquran plus biaya untuk pelatihan mengenal hurup Alquran Braile. Total hingga saat ini sudah 60 Alquran Braile
yang kami sumbangkan kepada para tunanetra,'' ungkap Taufik Hidayat. Menurut Taufik, pihaknya sengaja memberikan bantuan tidak seluruhnya dalam bentuk
Alquran Braile tapi untuk membantu pelatihan mengenal aksara Alquran Braile. ''Yang normal saja susah membaca Alquran, apalagi dengan menggunakan hurup
Braile. Tentu harus ada upaya dari berbagai pihak agar para tunanetra yang belum bisa membaca Alquran, mendapat pelatihan sehingga bisa membaca Alquran
Braile,'' jelasnya.

Perbedaan yang sangat mencolok antara Alquran biasa dengan Alquran Braile, jika Alquran biasa 30 juz tebalnya paling satu buku, jadi tebalnya tidak seberapa
bahkan sekarang banyak yang sudah dimodifikasi kecil-kecil sehingga lebih praktis, maka Alquran Braile tidak bisa dimodifikasi seperti itu. Untuk setiap
satu juz Alquran Braile bisa jadi satu buku. ''Jadi 30 juz 30 buku. ini yang membuat harga Alquran Braile menjadi lebih mahal ketimbang harga Alquran biasa,''
ujarnya.

Diakuinya, selama ini bantuan dari lembaga semisal BP ZIS Bank Mandiri belum terlalu banyak. ''Makanya kami sangat berterima kasih kepada BP ZIS Bank Mandiri
yang sudah peduli terhadap kehidupan para tunanetra. Terus terang, jarang-jarang ada lembaga yang konsen seperti ini. Kita juga pernah menerima bantuan
dari Departemen Agama sebanyak 27 set yang alhamdulillah sudah kita bagikan kepada teman-teman tunanetra di berbagai wilayah Jakarta.''

Yang menjadi kendala bagi para tunanerta di ibu kota, sambung Bayu, setelah sejumlah Alquran Braile tersebar yang merupakan sumbangan dari berbagai pihak
baik perorangan maupun lembaga. Yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah pengentasan buta aksara Alquran Braile.

Penulis: N. Damanhuri Zuhri

Teknologi Telah "Berdamai" dengan Kami!

PIKIRAN RAKYAT, Minggu, 3 Agustus 2008

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah basis kemajuan suatu bangsa. Manakala teknologi bermanfaat bagi umat manusia.
kecelakaan mobil menimpanya tahun 1978. Kecelakaan itu membuat Ted Henter kehilangan penglihatannya. Dengan begitu, hilang pula kariernya sebagai seorang pembalap motor. Waktu itu ia berumur 27 tahun.
Dia adalah insinyur dari University of Florida. Tetapi, setelah kebutaannya, ia belajar program komputer dan seorang pebisnis. Tahun 1987 ia mendirikan Henter-Joyce bersama kawannya Bill Joyce. Hasinya, dua tahun berikutnya mereka bisa membuat program pembaca layar, Job Access With Speech (JAWS) untuk operasionalisasi Disk Operating System (DOS).
Teknologi ini terus berkembang, hingga akhirnya perusahaan perangkat lunak terbesar Microsoft mengambil alih pengembangannya pada 1992. Tiga tahun berikutnya, di bulan Januari, Microsoft mengeluarkan JAWS for Windows version 1.9. Rata-rata sekali setahun versi terbarunya keluar. Dan, November 2007, telah keluar JAWS versi 9.0. Teknologi ini diperjualbelikan seharga 895 dolar AS untuk versi standar.
Dan, teknologi lain juga dikembangkan oleh sebuah konsorsium nonprofit bernama Digital Accessible Information System (DAISY). Mereka memproduksi "buku bicara". Belakangan, tahun 2008, Microsoft bekerja sama dengan Sonata Software dan DAISY merilis DAISY XML format, yang bisa menerjemahkan data dokumen. Peranti ini keluar dengan lisensi open source, yang bisa diunduh bebas.
Setara
Sebagian tunanetra yang tidak memiliki perangkat komputer, masih mengandalkan pola belajar dari kaset rekaman. Sedangkan untuk buku-buku baru, mereka bisa meminta tenaga pembimbing belajar untuk membacakannya. Maklum saja, produksi buku dengan huruf braille sangat jauh tertinggal.
Dari para pemakai komputer tunanetra yang Kampus hubungi mereka banyak memakai aplikasi JAWS. Dengan aplikasi itu, mereka pun sudah tidak repot saat belajar. Bagi mereka yang sudah memiliki komputer PC atau jinjing, belajar pun menjadi lebih mudah.
Seperti pengalaman Didi Tarsidi, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia, ia biasa menggunakan JAWS untuk menulis dan membaca aneka artikel. Dengan bantuan scanner, ia salin semua artikel dan isi buku ke dalam komputernya. Setelahnya, ia tinggal "membaca" salinannya. "Kerja kami memang dobel. Tetapi, usaha keras untuk maju adalah cita-cita kami. Teknologi memang membantu kami," ujarnya.
Dengan JAWS, tunanetra saat ini juga bisa mengarungi dunia maya. Mereka bisa membuat blog sendiri atau situs kelompok mereka. Dua situs yang terbilang aktif, ada mitranetra.or.id, konetif.org dan kartunet.com. Konetif kependekan dari Komunitas Tunanetra Kreatif.
Situs mitranetra adalah situs yayasan yang ingin memberi pendidikan dan pengembangan para tunanetra di Indonesia. Dibangun 14 Mei 1991, situs ini juga sebagai media informasi ke dunia global tentang kondisi tunanetra di Indonesia.
Dua situs lainnya, www.sites.konetif.org dan www.kartunet.com dibangun oleh kelompok pelajar dan mahasiswa tunanetra. Keduanya ingin menjadi tempat untuk pengembangan kreativitas para tunanetra.
"Agar orang bisa melihat kemampuan kami para tunanetra," ujar Irawan Mulyanto, salah seorang pendiri situs kartunet.com. Pernyataan yang hampir sama juga diutarakan oleh pengelola situs konetif.
"Obsesi kami sederhana, yaitu kami mendapat tempat yang sama dengan manusia pada umumnya," tutur Rizky Harta Cipta. Ia adalah jebolan Fakultas Hukum Unpad dan sedang menyelesaikan program pascasarjana di Program Pascasarjana Hukum Bisnis Unpad.
Rizki jelas bukan bermaksud ingin menyombongkan diri. Akan tetapi, sudah rahasia umum orang memandang miring pada kemampuan tunanetra atau mereka yang cacat tubuh lainnya. Padahal, banyak dari tunanetra yang berprestasi. Dan, teknologi telah berdamai dengan tunanetra. Kini, lingkungan sosialnya bagaimana?***

Penulis:
agus rakasiwi
kampus_pr@yahoo.com

Keterbatasan yang (Mestinya) tak Membatasi

PIKIRAN RAKYAT, Minggu, 3 Agustus 2008

HAMPIR saja cita-cita kuliah, gagal. Wijaya, hampir ditolak masuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Alasannya, karena ia tunanetra.
Seperti dikutip dari Detik.com, Wijaya, lulusan SMAN 66 Jakarta Selatan, lulus ujian masuk bersama (UMB) Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah. Akan tetapi, saat daftar ulang, semua biaya yang ia sertakan dikembalikan pihak universitas dengan alasan tunanetra.
Wijaya didukung beberapa organisasi tunanetra, seperti Mitranetra dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Lembaga-lembaga itu lantas mengirimkan surat kepada pihak universitas pada 15 Juli 2008. Dengan alasan miskomunikasi, UIN Syarif Hidayatullah pun memanggil kembali Wijaya.
Untuk diketahui, sejak 1980, UIN tiap tahun menerima mahasiswa tunanetra. Saat ini, ada empat mahasiswa tunanetra yang tengah belajar di kampus tersebut.
Di waktu lain, Mangaranap Simamora, tidak diperkenankan mengikuti kuliah di Program Studi Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan (FKIP) Universitas Pasundan, tahun 2006. "Saya mendapat penjelasan bahwa banyak tunanetra di tempat itu yang tidak menyelesaikan kuliahnya dan tidak lapor ke kampus," ujar Mangaranap menirukan penjelasan yang diterimanya dari kampus.
Alhasil, ia menganggur satu tahun. Baru pada usianya yang menginjak 23 tahun, ia mendaftar ke Universitas Islam Nusantara. Kali ini, ia mencoba ke jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan diterima. "Saya tidak ingin mengambil bahasa lagi. Karena takut mengalami hal yang sama seperti di Unpas," katanya.
Saat dikonfirmasi, pihak informasi FKIP Unpas mengatakan bahwa mereka masih membuka pendaftaran untuk kalangan tunanetra. Menurut petugas di sana, ada mahasiswa tunanetra yang akan lulus. Dan, memang beberapa lulusan tunanetra dari FKIP Unpas ada yang menjadi guru.
Di tempat lain, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia dari kalangan tunanetra, beberapa di antaranya mendapat pengalaman buruk. Pada saat ujian tengah semester, Sabinus Ngadu, mendapati kertas ujiannya tidak diperiksa dosen pengajar. Alasannya, karena Sabinus menggunakan huruf braille dalam pengerjaan tugas tersebut. Hasilnya, Sabinus mendapat nilai "lebih baik" daripada sebuah angka nol. "Kata dosennya, sudah, nilai mah gampang. Nanti saja," ujar Sabinus menirukan ucapan si dosen.
Diskriminasi dan prestasi
Ini baru sebagian contoh. Wijaya menjadi korban salah paham. Mangaranap, seperti yang diungkapkannya, menjadi korban karena jejak beberapa seniornya yang tidak tuntas menyelesaikan kuliah. Dan, Sabinus korban dari dosen yang tidak mau bertanya tentang braille ke Pusat Layanan Tunanetra yang ada di UPI. Ini baru sebagian contoh dari sekian banyak kasus diskriminasi. "Sebenarnya kami sudah menyediakan layanan dan sukarela membantu jika ada pengerjaan tugas ataupun tugas mahasiswa dalam huruf braille," ujar Ahmad Nawawi, dosen spesialisasi A (spesialisasi tunanetra) di Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) UPI.
Sebelum 1978, pemerintah membuat model pendidikan terpisah antara pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan kalangan "normal". Khusus untuk pendidikan tunanetra, pemerintah Indonesia membukanya pertama kali pada 1960. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1950 yang berubah menjadi UU No. 12/1954 tentang pendidikan dan pengajaran bagi anak berkelainan dan wajib belajar bagi tunanetra.
Sekolah luar biasa negeri (SLBN) untuk tunanetra berdiri pertama di Jakarta. Pendiriannya sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1962. Menurut catatan lain, sejarah pendidikan anak cacat di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda. Khusus tunanetra, lembaga layanan tunanetra tertua dan terbesar di Indonesia ada di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna. Kompleks seluas 5 hektare ini berdiri sejak 1901.
Rintisan pendidikan tunanetra sendiri sudah dilakukan oleh kalangan pribumi dan Belanda. Pada zaman itu, sistem pendidikannya dipengaruhi politik penjajahan seperti Blinden Colony, setiap tunanetra yang ditemukan ditampung dan dipelihara hingga akhir hayatnya sambil memproduksi kerajinan tangan sebisanya. Bagi kalangan tunanetra keturunan menak, mereka bisa disekolahkan di sekolah Belanda, seperti, HIS dan MULO.
Pendidikan tunanetra yang ada di Indonesia, tidak lepas dari sejarahnya di Eropa. Bedanya, di Eropa sekolah tunanetra muncul karena filosofi kesetaraan.
Mengutip tulisan Didi Tarsidi, yang diterjemahkan dari Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People (1999), pada awalnya sekolah-sekolah ini terutama bertujuan mengajarkan keterampilan-keterampilan kerja.
Kurungan berada di sekolah khusus, menurut Didi, dosen program sarjana dan pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang juga tunanetra, mengungkung pergaulan sosial kelompok tunanetra. Mereka merasa terdiskriminasi ketika kembali ke masyarakat selepas dari sekolah luar biasa.
Dus, kalangan pemerhati mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah terpadu. Dalam konsep ini, siswa dengan ketunaan bisa bersekolah di sekolah umum. Maksudnya, untuk membawa adanya kesetaraan sosial di antara yang tuna dengan yang tidak. Wacana ini terus berkembang dengan munculnya istilah inklusi. Inklusi sendiri meluarkan pengertian ketunaan bukan hanya fisik, tetapi juga anak-anak lain yang memiliki kemampuan khusus untuk bisa masuk di sekolah umum.
Ternyata memang konsep ini bisa menunjukkan bahwa kalangan dengan ketunaan bukan orang yang bisa dianggap sebelah mata. Kekurangan mereka hanya pada fisik, bukan kecerdasan. Banyak dari kalangan tunanetra yang bisa menunjukkan prestasi.
Di Amerika Serikat, sejarah mencatat nama Helen Keller. Seorang penulis, aktivis politik, dan seorang pengajar. Helen bahkan memiliki ketunaan ganda, buta dan tuli. Sebelum ia menjadi siapa-siapa, ia pun sering diteriaki "monster" karena sering berteriak-teriak.
Berkat seorang guru bernama Anna Sullivan, Helen menjadi tokoh berpengaruh di dunia penulisan dan aktivitasnya mengampanyekan kesetaraan yang tuna dan yang normal. Lantas di dunia program komputer, dunia juga mengenal nama Ted Henter. Dialah yang berjasa menciptakan perangkat lunak Job Access with Speech (JAWS), sebuah peranti untuk membaca dokumen komputer. Dia juga seorang tunanetra. Karyanya banyak digunakan oleh kalangan tunanetra di dunia. "Aneh jika masih ada kalangan yang menolak mereka untuk ikut bersekolah atau berada di lingkungan umum," katanya.
Sebelum wacana inklusi masuk di Indonesia, sudah banyak tunanetra yang menunjukkan prestasi. Hanya, masih banyak orang yang tidak mengetahui informasi tersebut dan menganggap orang tunanetra hanya bisa berpredikat tukang pijat atau meminta di jalanan. Padahal fenomena itu tidak melulu dimiliki orang tanpa penglihatan karena yang memiliki kelengkapan fisik pun melakukannya. "Sama saja, kalau malas ya akibatnya tidak bisa menjadi apa-apa," ujar Didi lagi.
Mengenai kendala inklusi, dosen di jurusan PLB UPI, Ahmad Nawawi mengatakan, karena faktor perilaku sosial. Di Bandung, program inklusi sudah dikampanyekan sejak 1998. Ditandai dengan seminar pertama di UPI, diteruskan beragam kampanye. "Persoalannya memang budaya di masyarakat kita," kata lulusan Program Pascasarjana Psikologi Unpad ini.
Kalangan tunanetra Indonesia pun bisa menunjukkan prestasi. Ada seorang penata musik, desainer situs, dan lain-lain. Hal itu ditunjukkan dengan kerja keras dan semangat. Selain itu, ada teknologi yang menolong aktivitas belajar mereka. "Saya mulai dari menabung untuk mendapatkan sebuah komputer. Uang tabungan itu saya peroleh dari kerja saya sebagai seorang musisi dan penata musik di beberapa kafe," ujar Hendra Jatmika Pristiwa, seorang tunanetra yang berprofesi sebagai penata musik.
Hal yang sama dilakukan pula oleh Rizky Harta Cipta. Dia yang sekolah di program magister Hukum Bisnis Unpad ini, sudah sejak lama "menyentuh" laptop. Dari alat itulah ia bisa menyelesaikan pendidikan hingga tingkat magister.
Tak sekadar braille, saat ini kalangan tunanetra juga bisa membaca dokumen dari layar komputer melalui perangkat lunak, walapun masih sulit diakses karena masalah harga."Sudah ada UU-nya, dan seharusnya itu yang diterapkan," ujar Ronald Simanjuntak, juru bicara Forum Mahasiswa Tunanetra Indonesia, mengacu UU Penyandang Cacat dan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Kejadian yang dialami Wijaya, Mangaranap, dan Sabinus, dinilai Ahmad Nawawi sebagai ketidaksiapan pengelola lembaga pendidikan untuk melaksanakan pendidikan inklusif. "Soal rajin atau tidak itu masalah semua orang di Indonesia. Bukan karena kecacatannya. Kuncinya sistem pendidikan bisa mengarahkan," ujar pelatih komputer di Mitranetra ini.

Penulis:
agus rakasiwi
kampus_pr@yahoo.com