Kamis, 23 Oktober 2014

Mahasiswa Tunanetra, Calon Pemimpin Masa Depan




“kalau kita ingin negara ini menghargai disabilitas, maka mahasiswa harus ikut melakukan sesuatu.  Kalau kita diam saja, tidak menyuarakan hak kita, maka tidak akan ada orang yang mau menengok ke kita.”Itulah sederet kalimat yang dituturkan Aria Indrawati, Ketua Umum DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) saat pembukaan kegiatan Pertemuan Lanjutan Mahasiswa Tunanetra Indonesia, dengan tema “Generasi Muda Tunanetra Pemimpin Masa Depan Indonesia” di Jakarta (23/10)


Menurut data yang tercatat di Pertuni, dari 3,6 juta tunanetra di Indonesia, hanya sekitar 200 orang yang menempuh jenjang pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi. Sungguh jumlah yang amat miris. Seandainya instansi pendidikan bersedia memberikan kesempatan serta memfasilitasi kebutuhan khususnya, penyandang tunanetra pun mampu bersaing dengan orang-orang non-tunanetra, serta bermanfaat bagi lingkungannya.


Tingkat peradaban suatu negara dapat diukur dari sejauh mana negara tersebut menghargai disabilitas. Faktanya, mengakses penidikan tinggi merupakan hal yang masih sulit diperoleh tunanetra di Indonesia. Masih sangat banyak universitas di tanah air, baik negri maupun swasta yang menolak kehadiran mahasiswa tunanetra. Salah satu tunanetra yang pernah mengalaminya, yaitu Santi Puspita. Santi menceritakan, bagaimana ia menerima penolakan dari salah satu  kampus swasta di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Santi ingin mendaftar di kampus tersebut, karena ia mendengar bahwa di kampus tersebut memiliki kualitas yang baik pada jurusan komunikasi -bidang yang ia minati. Awalnya, kampus tersebut memberikan respon yang baik dengan meminta Santi menyerahkan surat rekomendasi dari salah satu yayasan rehabilitasi tunanetra, bahwa ia telah menguasai program Microsoft Office dengan perangkat lunak pembaca layar pada komputernya. Beberapa waktu menunggu kepastian dari pihak kampus, Santi justru menerima penolakan. Menurut Santi, kampus tersebut menolak karena mereka belum bisa memberikan fasilitas bagi mahasiswa tunanetra. “Padahal saya sudah bilang, saya bisa menggunakan laptop saya sendiri, tapi tetap ditolak,” ujarnya.


Saat ini, Santi tengah menempuh pendidikannya di jurusan komunikasi Universitas Nasional. Meski demikian, penolakan yang pernah dialaminya menjadi pengalaman tersendiri. Hal-hal semacam inilah yang kemudian menndorong DPP Pertuni untuk melakukan pembinaan agar para pemuda tunanetra, khususnya mahasiswa dapat ikut menyuarakan kebutuhannya di masyarakat.


Pemuda adalah calon agen perubahan, tidak terkecuali pemuda tunanetra. Oleh karena itu, DPP Pertuni menitipkan masa depan disabilitas pada para mahasiswa tunanetra. Mempersiapkan hal tersebut, maka DPP Pertuni mulai berinisiasi untuk melakukan pembinaan terhadap mahasiswa tunanetra, salah satunya melalui forum-forum pertemuan antar mahasiswa tunanetra seperti yang  diselenggarakan tanggal 23-25 Oktober 2014 di Jakarta.


Pada Pertemuan Mahasiswa Tunanetra yang diadakan tahun 2013, para mahasiswa tunanetra yang hadir bersepakat untuk membentuk Asosiasi Mahasiswa Tunanetra guna mendorong para mahasiswa tunanetra untuk lebih berperan aktif  dalam mengampanyekan pendidikan tinggi yang inklusif di daerah masing-masing. Selain itu, kehadiran Asosiasi Mahasiswa Tunanetra juga diharapkan dapat menjadi wahana dalam melahirkan kader pemimpin  tunanetra di masa depan. Maka, melalui Pertemuan Lanjutan Mahasiswa Tunanetra yang diselenggarakan kali ini, diharapkan dapat semakin mengerucutkan implementasi asosiasi mahasiswa tunanetra, beserta program-program kerjanya.


***


Humas DPP Pertuni,
Ramadhani Ray


Tidak ada komentar:

Posting Komentar