Sabtu, 25 Oktober 2014

Pentingnya Kehadiran Pusat Layanan Disabilitas di Universitas




Mentri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Mentri No. 46 tahun 2014 tentang pendidikan khusus dan layanan khusus di perguruan tinggi dan pentingnya PLD di perguruan tinggi. Peraturan tersebut memandatkan agar pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan tinggi untuk memfasilitasi kebutuhan mahasiswa disabilitas. Fasilitas yang dimaksud di antaranya keharusan adanya PLD di setiap universitas, serta menyelenggarakan pelatihan, baik bagi tenaga akademik maupun non akademik agar mempunyai kemampuan melayani penyandang disabilitas.


Di Indonesia sudah ada dua universitas yang memiliki Pusat Layanan Disabilitas (PLD) , yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang. Dalam salah satu sesi Pertemuan Lanjutan Mahasiswa Tunanetra yang diselenggarakan tanggal 23-25 Oktober 2014 di Jakarta, Pertuni pun menghadirkan Arif Maftuhin, Direktur PLD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada kesempatan tersebut Arif banyak membagi informasi kepada mahasiswa tunanetra mengenai PLD yang ia kelola.


Arif memaparkan, bahwa universitas-universitas di luar negeri memiliki PLD, sehingga kebutuhan khusus para mahasiswa disabilitas pun terjamin. Hal ini bertolak belakang dengan situasi di Indonesia, di mana para mahasiswa disabilitas berjuang sendiri untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka dalam proses perkuliahan. Inilah yang kemudian mendorong Arif bersama rekan-rekannya untuk mendirikan PLD di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada tahun 2006.


 “Tiga orang teman kami yang baru pulang dari Kanada menemui teman-teman tunanetra lalu mereka berbincang untuk membangun barisan volunteer, yaitu  orang – orang yang peduli untuk membantu tunanetra,” kata Arif, menjelaskan langkah awal pendirian PLD di kampusnya. Lewat upaya itu, terkumpulah tiga kelompok, yaitu : dosen, penyandang disabilitas yang bersedia berpartisipasi dan teman teman dari penyandang disabilitas tersebut yang peduli.


Di UIN Sunan Kalijaga terdapat 50 orang penyandang disabilitas, yaitu 12 tunarunggu, 2 tunadaksa, dan sisanya tunanetra. Arif mengakui, bahwa dalam mempersiapkan PLD, Arif dan rekan-rekannya bermodal “nekat”.


“Kampus  kami menerima orang difable, dari situ kami akan mengerti apa yang mereka butuhkan,” jelas Arif. Contohnya, mereka menerima mahasiswa berkursi roda. Dengan menerima mahasiswa tersebut, pihak kampus menyadari, bahwa dibutuhkan toilet yang aksesibel dengan pengguna kursi roda. Akhirnya, pihak kampus pun memperbaiki infrastruktur gedung, sehingga memiliki toilet yang aksesibel. “Bayangkan jika tidak ada tunadaksa, mungkin toilet tidak akan pernah dipugar,” tambahnya.


Menurut Arif, sebuah kampus hendaknya terlebih dahulu memberi kesempatan bagi mahasiswa disabilitas untuk berkuliah di kampus tersebut. Jika mahasiswa disabilitas sudah ada, maka PLD dapat mengadvokasi kebutuhan khusus disabilitas tersebut. “Kita bisa minta pengadaan printer Braille, tapi harus terlebih dahulu memiliki mahasiswa tunanetra yang memang menjadi pengguna dari printer Braille. Jika belum ada mahasiswa tunanetra, tentu pengadaan printer Braille tidak dapat dilakukan,” jelasnya.


Advokasi adalah tindakan yang perlu  terus dilakukan dalam menyadarkan masyarakat mengenai hak-hak ppenyandang disabilitas. Berdasarkan pemikiran itu, Arif pun tak bosan-bosannya melakukan serangkaian upaya sosialisasi. UIN Sunan Kalijaga sudah pernah mencoba mengundang rector dari kampus-kampus lain guna mensosialisasikan pentingnya pengadaan PLD. Sayangnya, upaya ini masih kurang mendapat tanggapan serius dari kampus-kampus lain. “Yang datang kebanyakan adalah utusan-utusan rector  sehingga kurang memahami materi yang disampaikan.”. 


Masih ada upaya lain yang Arif lakukan dalam mensosilisasikan  kebutuhan mahasiswa disabilitas. Misalnya, pelatihan terhadap dosen yang mengajar mahasiswa disabilitas. Pelatihan ini dilakukan setiap semester guna memberikan pemahaman kepada dosen di UIN Sunan Kalijaga agar dapat memahami bagaimana mengajar mahasiswa disabilitas. Selain itu, PLD juga selalu memberikan surat pengantar mahasiswa disabilitas  kepada dosen-dosen yang nantinya akan mengajar di kelas-kelas yang terdapat mahasiswa disabilitas. Dalam surat tersebut, dijelaskan keberadaan mahasiswa disabilitas di kelas-kelas tertentu, apa ragam disabilitasnya, serta apa kebutuhan khusus yang ia perlukan selama proses belajar mengajar.



Agaknya sesi mengenai PLD ini cukup menarik perhatian peserta Pertemuan Mahasiswa Tunanetra. Terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang muncul pasca paparan yang disampaikan oleh Arif. Hal ini menjadi suatu indikasi positif, bahwa para mahasiswa tunanetra ternyata memiliki kepedulian untuk melakukan langkah perubahan di kampus masing-masing. Bagaimanapun, serangkaian upaya yang dilakukan oleh PLD tidaklah cukup, bila mahasiswa disabilitas sendiri tidak turut bergerak untuk menyuarakan haknya. Dalam hal ini, sosialisasi merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Orang lain tidak memahami kebutuhan penyandang disabilitas, namun penyandang disabilitas itu sendiri juga perlu ikut bersuara agar orang lain memahami kebutuhannya. Bagaimanapun, jika kebutuhan kita tidak dikenal, maka orang lain tidak akan tahu tentang diri kita.


***

Humas DPP Pertuni,
Ramadhani Ray

Jumat, 24 Oktober 2014

Generasi Muda Tunanetra, Pemimpin Indonesia Masa Depan




DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) menyelenggarakan  pertemuan lanjutan mahasiswa tunanetra tingkat nasional pada tanggal 23-25 Oktober 2014. Kegiatan ini dilaksanakan di Wisma PGI, Jl. Teuku Umar No.17, Cikini, Jakarta dengan dihadiri oleh 17 mahasiswa tunanetra yang merupakan perwakilan dari 9 propinsi di Indonesia, antara lain DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.

Sebagai organisasi kemasyarakatan, Pertuni sangat menyadari  betapa pentingnya melakukan pembinaan  generasi muda.  Dalam hal ini, Pertuni membidik para mahasiswa tunanetra.  Salah satu langkah yang dilakukan dalam proses pembinaan tersebut adalah dengan menyelenggerakan Pertemuan Mahasiswa Tunanetra tingkat Nasional.

Pertama kali, Pertemuan Mahasiswa Tunanetra diadakan pada bulan Oktober 2013. Pada pertemuan tersebut, para mahasiswa tunanetra yang hadir bersepakat untuk membentuk Asosiasi Mahasiswa Tunanetra guna mendorong para mahasiswa tunanetra untuk lebih berperan aktif  dalam mengampanyekan pendidikan tinggi yang inklusif di daerah masing-masing. Selain itu, kehadiran Asosiasi Mahasiswa Tunanetra juga diharapkan dapat menjadi wahana dalam melahirkan kader pemimpin  tunanetra di masa depan. Untuk mendorong terwjudnya hal tersebut, maka DPP Pertuni kembali memfasilitasi mahasiswa tunanetra untuk bertemu dan berdiskusi guna mempertajam visi, misi, serta program-program kegiatan yang kelak dapat dilakukan oleh Asosiasi Mahasiswa Tunanetra.

Pertemuan yang berlangsung selama dua hari tersebut terbagi dalam enam sesi. Agenda utamanya, yaitu penyusunan program kerja Asosiasi Mahasiswa Tunanetra, sesi konsultasi bimbingan karier, serta pemaparan tentang organisasi Pertuni. Di samping itu, pertemuan ini juga menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya.  Salah satunya, Arif Maftuhin, direktur  pusat layanan disabilitas UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta yang akan memaparkan mengenai pentingnya pusat layanan disabilitas di perguruan tinggi.  Untuk memperkenalkan isu Hak Asasi Manusia dan advokasi kepada peserta, diundang pula Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM dan Tigor Hutapea dari LBH Jakarta.  Bukan hanya itu. Pada hari kedua, terdapat sesi  dialog mahasiswa dengan DR. Alana zambon, evaluator independent program higher education (ICEVI). Dalam dialog ini akan ditanyakan bagaimana tunanetra mengakses pendidikan tinggi di Indonesia, berdasarkan situasi  di kampus masing-masing peserta yang hadir.

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi
1.      Aria Indrawati, Ketua Umum DPP Pertuni 081511478478
2.      Mahretta Maha: Ketua II dan Pelaksana Harian DPP Pertuni: 081219935244

Kamis, 23 Oktober 2014

Mahasiswa Tunanetra, Calon Pemimpin Masa Depan




“kalau kita ingin negara ini menghargai disabilitas, maka mahasiswa harus ikut melakukan sesuatu.  Kalau kita diam saja, tidak menyuarakan hak kita, maka tidak akan ada orang yang mau menengok ke kita.”Itulah sederet kalimat yang dituturkan Aria Indrawati, Ketua Umum DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) saat pembukaan kegiatan Pertemuan Lanjutan Mahasiswa Tunanetra Indonesia, dengan tema “Generasi Muda Tunanetra Pemimpin Masa Depan Indonesia” di Jakarta (23/10)


Menurut data yang tercatat di Pertuni, dari 3,6 juta tunanetra di Indonesia, hanya sekitar 200 orang yang menempuh jenjang pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi. Sungguh jumlah yang amat miris. Seandainya instansi pendidikan bersedia memberikan kesempatan serta memfasilitasi kebutuhan khususnya, penyandang tunanetra pun mampu bersaing dengan orang-orang non-tunanetra, serta bermanfaat bagi lingkungannya.


Tingkat peradaban suatu negara dapat diukur dari sejauh mana negara tersebut menghargai disabilitas. Faktanya, mengakses penidikan tinggi merupakan hal yang masih sulit diperoleh tunanetra di Indonesia. Masih sangat banyak universitas di tanah air, baik negri maupun swasta yang menolak kehadiran mahasiswa tunanetra. Salah satu tunanetra yang pernah mengalaminya, yaitu Santi Puspita. Santi menceritakan, bagaimana ia menerima penolakan dari salah satu  kampus swasta di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Santi ingin mendaftar di kampus tersebut, karena ia mendengar bahwa di kampus tersebut memiliki kualitas yang baik pada jurusan komunikasi -bidang yang ia minati. Awalnya, kampus tersebut memberikan respon yang baik dengan meminta Santi menyerahkan surat rekomendasi dari salah satu yayasan rehabilitasi tunanetra, bahwa ia telah menguasai program Microsoft Office dengan perangkat lunak pembaca layar pada komputernya. Beberapa waktu menunggu kepastian dari pihak kampus, Santi justru menerima penolakan. Menurut Santi, kampus tersebut menolak karena mereka belum bisa memberikan fasilitas bagi mahasiswa tunanetra. “Padahal saya sudah bilang, saya bisa menggunakan laptop saya sendiri, tapi tetap ditolak,” ujarnya.


Saat ini, Santi tengah menempuh pendidikannya di jurusan komunikasi Universitas Nasional. Meski demikian, penolakan yang pernah dialaminya menjadi pengalaman tersendiri. Hal-hal semacam inilah yang kemudian menndorong DPP Pertuni untuk melakukan pembinaan agar para pemuda tunanetra, khususnya mahasiswa dapat ikut menyuarakan kebutuhannya di masyarakat.


Pemuda adalah calon agen perubahan, tidak terkecuali pemuda tunanetra. Oleh karena itu, DPP Pertuni menitipkan masa depan disabilitas pada para mahasiswa tunanetra. Mempersiapkan hal tersebut, maka DPP Pertuni mulai berinisiasi untuk melakukan pembinaan terhadap mahasiswa tunanetra, salah satunya melalui forum-forum pertemuan antar mahasiswa tunanetra seperti yang  diselenggarakan tanggal 23-25 Oktober 2014 di Jakarta.


Pada Pertemuan Mahasiswa Tunanetra yang diadakan tahun 2013, para mahasiswa tunanetra yang hadir bersepakat untuk membentuk Asosiasi Mahasiswa Tunanetra guna mendorong para mahasiswa tunanetra untuk lebih berperan aktif  dalam mengampanyekan pendidikan tinggi yang inklusif di daerah masing-masing. Selain itu, kehadiran Asosiasi Mahasiswa Tunanetra juga diharapkan dapat menjadi wahana dalam melahirkan kader pemimpin  tunanetra di masa depan. Maka, melalui Pertemuan Lanjutan Mahasiswa Tunanetra yang diselenggarakan kali ini, diharapkan dapat semakin mengerucutkan implementasi asosiasi mahasiswa tunanetra, beserta program-program kerjanya.


***


Humas DPP Pertuni,
Ramadhani Ray


Rabu, 08 Oktober 2014

Layanan Low Vision Hadir di Rumah Sakit Sarjito, Yogyakarta



Unit layanan low vision  resmi dibuka di RS Sarjito, Yogyakarta, sejak September 2014. Dewan Pengurus Pusat (DPP ) Pertuni berhasil menjalin kerja sama dengan Rumah Sakit Negeri di Yogyakarta ini untuk mulai menyediakan layanan low vision bagi masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dipandang penting,  menurut kementerian Kesehatan RI,  tingkat gangguan penglihatan di Indonesia mencapai 1,5 % dari jumlah penduduk.  salah satu bentuk gangguan penglihatan itu adalah “lemah penglihatan atau low vision”.

  Layanan Low vision telah hadir di Yogyakarta sejak tahun 1999. Pada awalnya layanan low vision di Yogyakarta dikelola oleh IB Foundation – sebuah lembaga asal Amerika. Setelah lembaga tersebut ditutup pada tahun 2004, Pertuni mengambil alih pengelolaan layanan tersebut, dengan satu pertimbangan yaitu keberlanjutan layanan untuk para penyandang low vision di Yogyakarta dan sekitarnya. Selama 10 tahun, Pertuni menyelenggarakan layanan low vision di Yogyakarta dengan dukungan CBM - sebuah  lembaga donor asal Jerman. Karena satu dan lain hal, CBM tak dapat lagi mendanai penyelenggaraan layanan bagi penyandang lemah penglihatan ini. Sebagai organisasi yang mewakili aspirasi tunanetra, Pertuni sangat memahami bahwa layanan low vision harus tetap ada di masyarakat. Namun,  Pertuni tak dapat melaksanakannya sendirian. Pilihan kerja sama pun dialihkan ke pihak rumah sakit milik Pemerintah, yaitu RS Sarjito. Idealnya, layanan low vision ada di setiap klinik mata, karena low vision merupakan bagian dari “gangguan penglihatan”. Dan sebagai sebuah rumah sakit besar milik pemerintah, RS Sarjito memiliki klinik mata.

Unit  Layanan Low Vision Pertuni Yogyakarta telah menjalin kerja sama dengan RS Sarjito sejak tahun 2010, namun hanya berjalan selama satu tahun, karena adanya beberapa kendala yang sempat dihadapi. Meski secara resmi tak ada kerja sama, selama ini para dokter mata di RS tersebut secara rutin mengirimkan pasien-pasien mereka ke unit low vision Pertuni. Setelah mengetahui bahwa CBM tak lagi dapat membantu Pertuni dalam menyelenggarakan layanan low vision di Yogyakarta, pada pertengahan tahun 2014, DPP Pertuni kembali menjajaki kerja sama dengan RS Sarjito, mendorong RS tersebut untuk mulai menyelenggarakan layanan low vision.

Yanto Pranoto, Bendahara Umum DPP Pertuni    Telah  melakukan beberapa kali pembicaraan dengan RS Sarjito, untuk memindahkan  layanan low vision  yang telah dikembangkan  Pertuni selama 10 tahun terakhir ke rumah sakit tersebut. Dan pendekatan pun berhasil dengan baik. Pihak RS Sarjito bersedia menyelenggarakan layanan low vision di klinik mata RS tersebut. Dan pada tahap Awal, staf Unit low vision  Pertuni mendampingi. Keberhasilan ini antara lain dikarenakan  dokter-dokter mata di RS Sarjito juga memiliki keinginan yang kuat agar rumah sakit tersebut memiliki unit layanan low vision sebagai bagian dari klinik mata RS Sarjito.

Menurut Yanto, Pengalihan unit layanan low vision ke RS Sarjito ditanggapi dengan serius oleh pihak rumah sakit tersebut. Hal ini  terbukti dengan dikirimkannya dokter dan paramedis untuk mengikuti pendidikan dasar low vision yang diselenggarakan pada bulan Mei 2014 oleh CBM di Jakarta.

Yanto menjelaskan, sejauh ini telah banyak pasien atau klien baru, bahkan melebihi target yang ditentukan. Sejak tahun 1999. jumlah klien yang ditangani kurang lebih mencapai 3500 orang di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Klien terdiri dari beragam usia, mulai dari usia bayi hingga dewasa.  “Oleh karena itu, layanan low vision di Jogya tidak mungkin dilayani oleh rumah sakit sarjito atau DPP Pertuni saja, tapi harus melibatkan masyarakat , serta instansi pemerintah, agar layanan ini semakin mudah dijangkau,” ujarnya.

Sekar Mustika Intan, selaku instruktur Unit Low Vision Pertuni yang ditugaskan memberikan pendampingan di RS Sarjito pun menjelaskan, Ada beberapa bentuk layanan yang tersedia. Untuk klien, unit layanan low vision memberikan layanan berupa pemeriksaan mata, terapi, serta bimbingan untuk dapat memaksimalkan sisa pengelihatan yang dimiliki. Unit ini pun menyediakan alat-alat bantu low vision.  Alat bantu low vision yang tersedia berupa alat optik dan non optik. “Untuk alat optik, kami menyediakan teleskop, hand magnifier, stand magnifier dan kacamata. Sedangkan untuk non optik seperti writing frame, standing book, dan buku low vision dengan berbagai bentuk dan typoskop,” jelas Intan.

Tidak hanya pada klien, staf unit  low vision juga memberikan bimbingan kepada staf RS Sarjito mengenai  penanganan pasien low vision, serta memberikan konseling jika diperlukan.  Intan pun menjelaskan bentuk kerja sama yang dilakukan antara DPP Pertuni dan RS Sarjito dalam penyelenggaraan unit low vision.   “Kami diminta untuk membimbing dua dokter mata dan dua opticiant yang telah dilatih sejak mei 2014 oleh CBM.”.

Bukan hanya itu, Pihak RS sarjito juga menyediakan sebuah ruangan untuk penanganan pasien low vision yang sudah dimodifikasi agar ramah pada low vision. Saat ini, alat test pemeriksaan serta alat bantu berasal dari unit low vision Pertuni,  tapi pihak RS sarjito akan melengkapinya dan mengganti alat yang memang sudah harus diganti. Dengan demikian, unit layanan low vision bisa berjalan dengan alat test yang sudah dihibahkan ke RS Sarjito dan mereka dapat langsung  menangani setiap pasien yang datang setiap harinya.

unit Layanan low vision RS Sarjito dibuka hari senin sampai jumat. Namun, untuk layanan bimbingan kepada klien hanya dilakukan pada hari Rabu dan Kamis dari jam 09.00 WIB sampai selesai. Dengan kehadiran unit ini, Intan berharap, penanganan semua pasien low vision rujukan dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya dapat dilakukan sedini mungkin. “Saya berharap, kehadiran unit low vision ini dapat mendorong semua dokter mata atau yang berkecimpung di dunia kesehatan mata  dapat menangani pasien low vision dengan baik. Tidak hanya di yogya, tapi juga di daerah lainnya,” katanya.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi
1.       Yanto Pranoto:08156022665
2.       Sekar Mustika Intan:  081802677628
***
Humas DPP Pertuni,
Ramadhani Ray