Jumat, 30 April 2010

Musda VI Pertuni Sumatra Utara 26-27 April 2010

Musyawarah Daerah VI Pertuni Sumatra Utara diselenggarakan di Medan pada tanggal 26-27 April 2010.
Terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah masa bakti 2010-2015 adalah Sdr. Khairul Batubara, sedangkan Sdr. Abdul Rahman terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah.

Sudahkah Sistem Pendidikan Nasional Memprioritaskan Anak Penyandang Disabilitas?

Renungan untuk Hari Pendidikan Nasional
Oleh Aria Indrawati – Mitra-Jaringan, 30 April 2010

Namanya Balqiz balika Utami, biasa dipanggil
Balqiz.
Gadis cilik berusia 4 tahun, kembaran dari Alifah Aishah Utami . Tak seperti saudara kembarnya, Balkiz mengalami kebutaan karena ROP – Retinopathy Of Prematurity; pembentukan retina yang tidak sempurna akibat kelahiran premature. Lebih dari dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Terakhir kali ia berumur sekitar 13 bulan dan baru belajar berjalan. Saat ini Balqiz telah tumbuh menjadi anak yang cerdas, mampu merespond situasi di sekitarnya dengan baik dan sangat percaya diri, luar biasa. Itu semua buah dari sikap dan perlakuan orang tua yang juga luar biasa.

Primaningrum, Ibunda Balqiz, juga sama dengan ibiu-ibu yang lain pada awalnya. Saat mengetahui satu dari dua anak kembarnya mengalami kebutaan akibat kelahiran premature, merasa sedih, dan bingun, bagaimana masa depan si bayi yang tak berpenglihatan ini kelak. Kebingungannya menjadi bertambah saat tidak tersedianya informasi yang dapat diperoleh dengan mudah tentang bagaimana mengasuh bayi yang tidak berpenglihatan; bagaimana mengajarinya berjalan, memperkenalkan benda-benda di sekitarnya, bagaimana pendidikannya, dan lain sebagainya.

Namun, ibu dari anak kembar ini akhirnya berhasil melewati masa kritisnya, dapat menumbuhkan sikap positif tentang anak tunanetranya pada dirinya, bahwa kehadiran Balqiz di tengah keluarga merupakan karunia tak terhingga, dan kemudian secara perlahan tapi pasti mulai belajar bagaimana menjadi ibu yang baik untuk Balqiz. Berbekal sikap positif inilah Primaningrum kemudian “mencari informasi”, dan internet menjadi solusi untuknya. Namun, berapa banyak Ibu yang seperti ini di Indonesia? Sebuah pertanyaan besar.

Kini sudah tiba waktunya Balqiz memasuki taman kanak-kanak -- TK, setelah selama dua tahun – sejak usia 26 bulan hingga kini -- menjalani tahap persiapan – pendidikan anak usia dini – di SLB Dwituna Rawinala, SLB yang seharusnya diperuntukan anak-anak dengan disabilitas ganda atau bahkan multi disabilitas.

Secara intelektual Balqiz tak bermasalah. Itu sebabnya, baik Rawinala maupun Mitra Netra – lembaga yang menyediakan layanan pendidikan untuk siswa tunanetra, yang selama ini mendampingi Balqiz dan orang tuanya, menyarankan agar Balqiz masuk ke TK umum, bukan TK luar biasa yang hanya khusus untuk anak dengan disabilitas. Dan, pilihan sekolah yang paling tepat adalah yang terletak tidak jauh dari rumahnya (home school). Begitulah filosofi “pendidikan inklusif”; setiap anak, termasuk anak-anak dengan disabilitas seperti Balqiz, memiliki hak untuk “memilih” bersekolah di sekolah umum, yang letaknya tak jauh dari rumah mereka, dan system pendidikan seharusnya didesain agar dapat mengakomodasikan kebutuhan anak-anak dengan disabilitas seperti Balqiz.


Berada disituasi seperti Indonesia saat ini, di saat system belum mendukung dan informasi sangat minim, butuh orang tua dengan kreatifitas dan ketegaran sungguh luar biasa, untuk dapat menyekolahkan anak dengan disabilitas seperti Balqiz ke TK umum, dan bukan TK luar biasa.

Ihtiar yang tidak mudah. Pendekatan ke beberapa TK pun mulai dilakukan, argumentaasi mengapa Balqiz lebih baik belajar di TK umum pun mulai disampaikan, dan penolakan secara tidak langsung pun sudah diterima.

Hal ini tentu tidak akan terjadi jika system pendidikan di Indonesia telah dikembangkan ke a rah system pendidikan inklusi dengan panduan yang jelas. Pada umumnya, sekolah-sekolah umum, termasuk pendidikan anak usia dini – TK, belum mengerti bagaimana seharusnya memberikan pendidikan untuk anak-anak dengan disabilitas, yang maasih memungkinkan belajar bersama-sama teman-teman mereka yang tiddak menyandang disabilitas. Adalah tugas kementerian pendidikan nasional, didukung oleh dinas-dinas pendidikan baik tingkat propinsi maupun kabupaten kota untuk membuat system pendidikan umum yang akomodatif untuk anak-anak seperti Balqiz.

Sistem pendidikan inklusif yang mendorong system pendidikan umum dapat mengakomodasikan kebutuhan anak dengan disabilitas telah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1998, saat Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional mengadakan perjanjian kerja sama hutang lunak (soft loan) dengan Pemerintah Norwegia; sudah 12 tahun yang lalu. Pusat-pusat layanan untuk mendukung kemandirian belajar siswa dengan disabilitas di sembilan kota di Indonesia telah dibangun. Alat-alat Bantu adaptive dengan harga yang tidak murah pun telah didatangkan, belasan guru praktisi pendidikan luar biasa telah dikirim ke universitas Oslo Norwegia untuk mengambil master degree pendidikan anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusif. Apa hasilnya? Primaningurm, Ibunda Balqiz, dan ratusan ribu atau bahkan jutaan ibu-ibu yang memiliki anak dengan disabilitas lainnya di negeri ini masih mengalami kebingungan dan kesulitan yang sama.

Lalu, ke mana arah kebijakan pemerintah di bidang pendidikan berjalan? Nampak bagus di atas kertas dan kedengaran indah di ruang-ruang konferensi, tapi masih membingungkan untuk Ibunda Balqiz dan jutaan ibu-ibu lain yang memiliki tantangan serupa.

Contoh seorang Balqiz Itu baru di tingkat pendidikan dasar. Belum lagi jika kita bicara soal pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi.

Berbagai inisyatif dan dukungan dari organisasi non pemerintah tingkat internasional luar negeri yang dilaksanakan melalui rintisan program kerja sama dengan organisasi non pemerintah tingkat local telah dilakukan. Dua di antara organisasi non pemerintah local ini adalah Yayasan Mitra Netra dan Perssatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) yang memperjuangkan kepentingan siswa tunanetra. Melalui inisyatif ini, model-model keberhasilan dalam skala kecil telah diraih. Namun, tentu keberhaasilan kecil ini juga harus direplikasikan, sehingga dapat menyentuh lebih banyak anak-anak dengan disabilitas, dan di sinilah peran pemerintah, sebagai pemegang kebijakan dan pemilik anggaran.

Upaya berkomunikasi dan berdialog dengan kementerian pendidikan nasional terus dilakukan, dan tentu yang diharapkan adalah berbicara dengan Bapak menteri, karena pejabat tinggi setingkat menteri diharapkan dapat melihat segala sesuatu dalam perspektif yang luas. Tapi apa yang terjadi? Disposisi terus mengalir, hingga ke pejabat dengan eselon yang hanya memiliki kewenangan melihat masalah dari satu sudut pandang saja. Menyedihkan. Bagaimana mau membangun system jika masyarakat hanya bisa bicara dengan pejabat pemerintah yang kewenangannya terbatas?

Pada pertengahan bulan Agustus 2010 nanti, komunitas pemerhati dan praktisi pendidikan anak-anak tunanetra akan berkumpul di Thailand dalam sebuah konferensi dunia, yang diselenggarakan oleh International Council of Education for People with Visual Impairment (ICEVI). Di ajang semacam ini, negara-negara di seluruh dunia akan saling berbagi kisah keberhasilan,. Tidak hanya itu, konferensi dunia ini juga akan melakukan evaluasi terhadap pencapaian gerakan “education For All – EFA” atau “pendidikan untuk semua” khusus bagi anak tunanetra.

Memperingati hari pendidikan nasional (hardiknas) tahun ini, mari kita bangsa Indonesia bertanya, berapa persen dari anak-anak penyandang disabilitas usia sewkolah yang bersekolah saat ini? Sudahkah mencapai angka 10 %? Jika belum, langkah apa yang akan dilakukan kementerian pendidikan nasional untuk membawa lebih banyak anak-anak penyandang disabilitas agar mereka juga “duduk di bangku sekolah”? Bukan sekedar duduk tentunya, namun juga mendapatkan pendidikan berkualitas.

Rabu, 28 April 2010

Musda Pertuni DIY Tanggal 24-25 April 2010

Musyawarah Daerah (Musda) Pertuni Daerah Istimewa Yogyakarta diselenggarakan pada tanggal 24-25 April 2010 di Yogyakarta.
Terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah masa bakti 2010-2015 adalah Sdr. Sardi, dan Sdr. Ahmad Soleh, M.Si., terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah.

Sabtu, 24 April 2010

Kita Kehilangan Pak Alim Lindungan

Kita Kehilangan Pak Alim Lindungan.
Alim Lindungan, S.H., berpulang hari ini, Minggu 25 April 2010 pukul 9.30,  di RS Advent Bandung, setelah mengidap gangguan jantung selama beberapa bulan.
Jenazah akan dikebumikan di kota kelahirannya, Semarang.

Pak Alim pernah menjabat sebagai Sekjen Pertuni dan anggota Dewan Pertimbangan Pusat Pertuni.

Selamat jalan Pak Alim, semoga mendapat tempat yang paling damai di sisi Tuhan, terima kasih atas kontribusinya terhadap perjuangan tunanetra Indonesia.
 

Kamis, 01 April 2010

”Penyandang Disabilitas” Menggantikan Istilah ”Penyandang Cacat”

Pada tanggal 29 Maret hingga 1 April 2010 Kementerian Sosial menyelenggarakan pertemuan Penyusunan Bahan Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Penyandang Cacat. Pertemuan yang dilaksanakan di Grand Setiabudhi Hotel, Bandung, itu dihadiri 30 peserta yang mewakili berbagai lembaga/organisasi yang meliputi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Sosial, Komnasham, organisasi penyandang cacat, dan LSM pemerhati kecacatan.

Para peserta pertemuan tersebut sepakat untuk mengganti istilah ”penyandang cacat” dengan ”penyandang disabilitas”. Kesepakatan itu dituangkan ke dalam naskah kesepakatan sebagai berikut.

NASKAH KESEPAKATAN

Kami yang bertanda tangan dibawah ini menyepakati :
1. bahwa istilah penyandang cacat secara tentatif mempunyai arti yang bernuansa negatif sehingga mempunyai dampak yang sangat luas bagi penyandang cacat itu sendiri terutama pada subtansi kebijakan publik yang sering memposisikan penyandang cacat sebagai obyek dan tidak menjadi prioritas;
2. bahwa Istilah penyandang cacat dalam perspektif bahasa indonesia mempunyai makna yang berkonotasi negatif dan tidak sejalan dengan prinsip utama hak asasi manusia sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia;
3. berdasarkan hal tersebut, istilah penyandang cacat harus diganti dengan istilah baru yang mengandung nilai filosofis yang lebih konstruktif dan sesuai dengan prinsip hak asasi manusia;
4. berdasarkan hasil pembahasan dalam seminar dan focus group discussion yang diselenggarakan oleh Komnasham dan Kementerian Sosial di Cibinong (tanggal 8-9 Januari 2009), di Hotel Ibis Jakarta (tanggal 19-20 Maret 2010) dan di Grand Setiabudhi Hotel Bandung (tanggal 29 Maret - 1 April 2010), disepakati bahwa istilah penyandang cacat diganti menjadi : “ Penyandang Disabilitas”.
5. istilah Penyandang Disabilitas mempunyai arti yang lebih luas dan mengandung nilai-nilai inklusif yang sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi hukum di Indonesia, dan sejalan dengan substansi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang telah disepakati untuk diratifikasi.
6. Berdasarkan hal-hal tersebut, kami merekomendasikan:
a. pemerintah dan DPR agar segera meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan menggunakan istilah ”penyandang disabilitas” untuk menerjemahkan frase “persons with disabilities”;
b. kalangan pemerintah, legislatif, akademisi, organisasi penyandang disabilitas, organisasi pemerhati disabilitas, dunia usaha, media masa dan masyarakat luas lainnya agar berpartisifasi aktif untuk mensosialisasikan penggunaan istilah “Penyandang Disabilitas” sebagai pengganti istilah penyandang cacat.

Demikianlah kesepakatan ini dibuat dengan penuh kesungguhan atas dasar itikat baik demi mewujudkan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi penyandang Disabilitas di Indonesia.

Dibuat di Bandung pada tanggal 31 maret 2010.

Naskah ditandatangani oleh seluruh peserta sebagaimana disebutkan di atas.

(Didi Tarsidi)