Minggu, 11 Desember 2011

RUU Penyederhanaan Mata Uang Rupiah Sudah Siap

Tinggal harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Segera diajukan ke DPR. (VIVAnews, 11 Desember 2011).

Ini merupakan momentum yang tepat bagi Bank Indonesia untuk mencetak uang yang sesuai dengan aspirasi kaum tunanetra yang menginginkan mata uang rupiah yang aksesibel.

Berdasarkan pengalaman kaum tunanetra di beberapa negara, uang yang aksesibel itu adalah yang ukuran besarnya konsisten dan proporsional. Konsisten artinya satu nilai uang rupiah yang sama harus mempunyai ukuran besar yang sama. Proporsional artinya uang dengan nilai lebih besar harus mempunyai ukuran fisik yang lebih besar pula.
Agar mudah dikenali dengan perabaan, perbedaan ukuran satu nilai dengan nilai berikutnya harus sekurang-kurangnya 6 mm.

Pemerintah dan Bank Indonesia tampaknya serius dengan rencana penyederhanaan nilai mata uang. Dalam ilmu ekonomi luas, ini dikenal dengan sebutan redenominasi. Rancangan Undang-undang Redenominasi itu disusun pemerintah bersama Bank Indonesia.

Kini RUU itu sedang dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Rencananya awal 2012 masuk DPR.
Meski memastikan bahwa RUU ini sudah siap dan tinggal tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan bahwa RUU tersebut baru bisa dipraktikan sekitar 5 sampai 10 tahun kedepan. Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah akan mempelajari terlebih dahulu pengalaman beberapa negara yang sudah berhasil menerapkan kebijakan penyederhaan nilai uang.
Dalam rencana penerbitan kebijakan redenominasi itu, BI telah memetakan empat tahapan yang harus dilalui sampai Indonesia benar-benar dianggap siap menjalankan penyederhaan nilai uang itu.

Tahap pertama adalah tahap di mana pembuat kebijakan menyiapkan berbagai macam hal seperti menyangkut akuntansi, pencatatan, sistem informasi yang diperlukan dalam membuat rancangan undang-undang soal redenominasi itu.

Tahap kedua adalah masa transisi. Yakni pada tahun 2013-2015. Pada tahap ini, harga barang akan ditulis dalam dua harga yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Selama masa transisi ini, masyarakat akan menggunakan dua mata uang yaitu rupiah lama dan baru. BI juga akan mengganti uang rusak rupiah lama dengan uang rupiah baru.

Tahap ketiga yaitu tahun 2016-2018 adalah masa dimana uang kertas sekarang (rupiah lama) akan benar-benar habis. Bank Indonesia akan melakukan penarikan uang lama.

Tahap keempat yaitu periode 2019-2020, kata-kata uang baru menandakan pengganti uang lama akan dihilangkan. Pada periode ini, Indonesia akan kembali pada rupiah seperti saat ini, namun nilai uangnya lebih kecil. Untuk mata uang kecil berlaku uang koin dan nilai pecahan sen akan berlaku lagi. Diharapkan dengan tahapan seperti itu masyarakat akan lebih siap dengan proses redenominasi itu.

Kamis, 08 Desember 2011

Lion Air Dihukum karena Diskriminasi, Komnas HAM: Ini Putusan Spektakuler

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Komnas HAM memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas keputusan PN Jakarta Pusat yang menghukum maskapai penerbangan Lion Air cs. Dalam putusan
tersebut, Lion Air, PT Angkasa Pura II dan Kementerian Perhubungan dihukum karena melakukan perbuatan diskriminasi terhadap difabel (penyandang cacat).

"Ini keputusan yang spektakuler. Kami memberikan apresiasi yang tinggi kepada majelis hakim yang memutus perkara ini," kata komisioner Komnas HAM, Saharuddin
Daming saat berbincang dengan detikcom, Kamis, (8/12/2011).

Menurut Daming, keputusan tersebut menunjukkan hukum di Indonesia mengakomodasi penghormatan HAM para difabel. Apalagi putusan tersebut lahir di tengah
pudarnya penghormatan HAM dan penegakan hukum bagi penegakkan HAM.

"Keputusan ini menjadi yurisprudensi dan mendidik bangsa supaya kita tidak melecehkan penyandang cacat," papar Daming.

Dia juga mengapresiasi hakim yang mengukum Kementerian Perhubungan karena lalai mengontrol dan mengawasi para pelaku usaha penerbangan. Menurut Daming,
sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menegakkan peraturan sesuai pasal 134 ayat 3 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Menanggapi usaha Lion Air
melakukan upaya hukum banding, Daming mempersilahkannya.

"Mengajukan banding itu kan hak mereka. Tetapi ini mencerminkan mereka tidak menghormati HAM," ungkap Daming

Seperti diketahui, Lion Air cs dihukum membayar Rp 25 juta tanggung renteng dan permohonan maaf di koran nasional. Majelis hakim menilai Lion Air bersalah
karena melakukan perbuatan diskriminasi terhadap penumpang, Ridwan Sumantri pada 11 April 2011 silam. Akibat perbuatan ini maka penumpang mendapat kerugian,
baik materiil maupun immateril.

Mendapati putusan ini, kuasa hukum Lion Air, Nusirwin langsung menolak keputusan ini dan serta merta menyatakan banding. Menurutnya keputusan hakim melebihi
apa yang digugat oleh penggugat. "Hakim dalam memutus juga mempertimbangkan berdasarkan pengamatan sendiri. Bukan berdasarkan fakta persidangan. Selain
itu, selama persidangan penggugat tidak bisa membuktikan kerugian yang dialami. Kami banding," kata Nusirwin.

Senin, 28 November 2011

CRPD sudah Resmi Menjadi Undang-undang

Oleh Saharuddin Daming - mitra-jaringan, Monday, November 28, 2011 3:24 PM

Setelah disahkan oleh DPR 18 Oktober lalu, konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) kini telah resmi di Undangkan oleh Pemerintah dengan UU No. 19 tahun 2011, Lembaran Negara tahun 2011 No. 107, Tambahan Lembaran Negara tahun 2011 No. 5251 tertanggal 10 Nopember 2011. Naskah salinan dapat di copy dari berbagai sumber termasuk Website Sekretarian Negara. Selamat untuk kita semua, semoga UU ini dapat menjadi entri point bagi pelaksanaan reformasi secara sistematis dan menyeluruh terhadap sistem hukum, kebijakan maupun sikap dan perilaku penyelenggara negara terhadap pemajuan, perlindungan dan pemenuhan Penyandang Disabilitas.

Pada kesempatan ini pula saya sampaikan bahwa terhitung 25 Nopember 2011 sampai 31 Januari 2011 dibuka penerimaan calon anggota baru Komnas HAM untuk Periode 2012-2017. Bagi teman-teman yang merasa memiliki keinginan dan memenuhi syarat untuk menjadi anggota Komnas HAM, silahkan ramai-ramai mendaftar melalui panitia seleksi (baca keterangan lengkap melalui Website Komnas HAM).

Saya sendiri menyatakan tidak lagi berminat untuk memperpanjang masa jabatan karena beberapa alasan yg tidak perlu saya kemukakan disini. Karena itu saya mempersilahkan teman2 untuk melanjutkan perjuangan ini.

Wassalam,
Saharuddin Daming

Jumat, 21 Oktober 2011

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Resmi Dirativikasi, Sejarah Baru Bagi Jaminan Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas Di Indonesia

(redaksi Komnas HAM)

JAKARTA
Setelah berjuang sekian lama untuk memperoleh payung hukum terhadap perlindungan hak Penyandang Disabilitas, akhirnya pada hari Selasa 18 Oktober 2011, pukul 11.40 WIB, sidang Paripurna DPR yang dihadiri seluruh Fraksi dan Komisi VIII, mengesahkan konvensi tentang Hak-Hak Penyadang Disabilitas menjadi undang-undang. Ketika Pramono Anum selaku pimpinan sidang mengetok palu tanda pengesahan konvensi, ruang Nusantara II DPR RI sejenak bergema riuh dengan tepuk tangan dari para anggota dewan maupun segenap peninjau dari elemen Disabilitas yang memenuhi balkon.
Terjadi pemandangan yang sangat mengharukan di antara tokoh Disabilitas yang ikut hadir menyaksikan momen yang sangat penting artinya bagi eksistensi mereka. Permas Alamsyah, Cucu Sadiyahm, Ridwan Sumantri, Gufron Syakaril, Bayu Yulianto, Fukron Hidayat dan sejumlah tokoh Disabiltas lainnya, saling berangkulan dengan cucuran air mata. “Kawan-kawan saya tidak tahu mau bilang apa untuk merayakan hari bersejarah ini” ujar Permas Alamsyah dengan nada terisak yang dikerumuni tokoh Disabilitas lainnya.
Pengesahan-pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas memiliki nilai strategis dan sejarah baru dalam pembaruan sistem hukum nasional khususnya dalam hal pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas, jelas Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Chairun Nisa saat membacakan laporannya.
Chairun Nisa mengatakan, meskipun sesungguhnya bangsa Indonesia terlambat namun dengan ratifikasi konvensi ini mka diharapkan ada kesamaan pandangan dan pemahaman seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan konvensi ini yang pada dasarnya sebagai upaya meningkatkan pelayanan bagi penyandang disabilitas.
“Meskipun sesungguhnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan dan perlindungan kepada pentandang disabilitas, namun dalam kenyataannya masih jauh dari harapan. Masih banyak yang belum diimplementasikan secara optimal seperti akses mendapatkan pekerjaan yang layak, pelayanan publik dan kesetaraan derajat, harkat, dan martabat,” terangnya kepada Sidang Paripurna.
Lebih lanjut Chairun Nisa juga menyampaikan hal pokok yang mendasar untuk menjadi perhatian bersama dengan disahkannya RUU ini yaitu memastikan adanya jaminan kepastian hukum bagi penyandang disabilitas yang harus dipenuhi hak-haknya sesuai yang terkandung dalam Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Selanjutnya, perlu dilakukan perencanaan dan pertimbangan yang sungguh-sungguh bahwa semua aspek baik sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang tersedia dalam rangka mendukung implementasi rancangan UU Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.
“Hal yang paling terpenting adalah kesiapan bagi semua pemangku kepentingan agar sungguh-sungguh melaksanakan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas setelah disahkan menjadi UU” Tegas Chairun Nisa dengan penuh semangat.
Setelah mengesahkan Konvensi, pimpinan sidang mengundang Menteri Luar Negeri : Marty Natalegawa selaku wakil Pemerintah untuk memberikan pandangan akhir. Dalam sambutannya Marty mengemukakan :“UU ini merupakan ratifikasi dari penandatanganan Convention on the Right of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) oleh Pemerintah RI pada tanggal 30 Maret 2007 di New York setelah Majelis Umum mengadopsi Konvensi pada tanggal 13 Desember 2006 No.61/106.Indonesia merupakan negara kesembilan dari 82 negara sebagai penandatangan periode awal konvensi. Sampai saat ini, Konvensi telah ditandatangani 153 negara” jelasnya kepada sidang Paripurna DPR.
Dengan didampingi Menteri Sosial Salim Assegaf Al-Jufri, Menlu Marty Natalegawa mengutarakan bahwa dengan disahkannya Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas mencerminkan komitmen dan kepedulian seluruh elemen bangsa bagi kemajuan hak azasi manusia khususnya terhadap kemajuan penyandang disabilitas yang wajib mendapatkan perhatian dari kita semua. “Tindakan meratifikasi konvensi ini merupkan tanggung jawab Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam melindungi dan memajukan hak azasi manusia termasuk penyandang disabilitas,” jelasnya.
Menurut Menlu bahwa Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas merupakan capaian tertinggi dan penting dalam upaya memberikan perlindungan bagi penyadang disabilitas."Konvensi ini telah diratifikasi oleh 106 negara dan kita adalah negara yang ke 107. Konvensi ini dapat digunakan dalam mengembangkan masyarakat agar bisa menerima harkat dan martabat penyandang disabilitas," ungkap Marty dalam sidang Paripurna, Selasa (18/10/2011).
Menurut Marty bahwa berdasarkan data PBB saat ini tercatat penyandang disabilitas di seluruh dunia sekitar 1 miliar jiwa atau sekitar 15% dari penduduk dunia, sebagian besar berada di negara berkembang.Usai konvensi disahkan menjadiundang-undang, maka akan dilanjutkan dengan rangkaian perubahan peraturan perundangan yang telah ada untuk disesuaikan dengan konvensi. Misalnya, akses terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi serta terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka. Termasuk di gedung-gedung, jalanan, sarana transportasi, sekolahan, perumahan dan fasilitas medis, serta sarana lainnya yang berhubungan erat dengan manusia.
Sebelum menutup sidang Paripurna, Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengusulkan agar gedung DPR, DPD dan MPR RI sendiri harus segera dilengkapi dengan aksesibilitas fisik dan non fisik yang berguna bagi penyandang disabilitas.".
“Dengan telah disahkannya UU tersebut, dengan itu pula kami menginginkan agar fasilitas gedung rakyat ini pun harus segera dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas bagi penyandang disabilitas. Kita bukan membangun gedung baru, tapi memaksimalkan gedung yang ada, cukup ditambah dengan sarana untuk penyandang disabilitas," himbaunya yang disambut dengan riuhkan tepuk tangan dari balkon aupun dari ruang gedung Nusantara II.
Seusai penutupan sidang, Menteri Sosial Salim Assegaf Al-Jufri melakukan konfrensi pers dengan mengatakan, pemerintah akan melakukan sosialisasi substansi konvensi itu. Langkah utama yang akan dilakukan yakni menyiapkan fasilitas untuk penyandang disabilitas di gedung pemerintahan dan swasta, serta wilayah publik. "Program ini akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan anggaran dan kebutuhan. Tapi tentunya, semua yang berkaitan dengan kepentingan publik harus disiapkan hak-hak penyandang disabilitas," ucap Salim tegas.
Saharuddin Daming satu-satunya Komisioner Komnas HAM yang hadir langsung menjadi saksi ratifikasi konvensi dalam sidang Paripurna DPR tersebut, tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan dan keharuannya. “Hari ini merupakan lembaran yang sangat bersejarah bagi gerakan reformasi perlindungan hak Penyadang Disabilitas di Indonesia, karena sejumlah peraturan hukum yang ada selama ini, sangat tumpul dalam mendobrak dinding diskriminasi yang membelit Penyandang Disabiltas dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan” tegasnya.
Saharuddin menjelaskan sejarah perjuangan ratifikasi konvensi yang dimulai dengan pembentukan tim penyusun naskah akademik RUU oleh Komnas HAM pada tahun 2007. Setelah disahkan oleh sidang Paripurna Komnas HAM pada tahun 2008, Saharuddin menyerahkan rancangan naskah akademik kepada Menteri Sosial. Namun dalam suatu rapat di kantor Kementrian Sosial akhir tahun 2008, Saharuddin melontarkan masalah mendasar yang perlu di cari penyelesaiannya sebelum konvensi di ratifikasi. “Konvensi ini adalah legal umbrella dan merupakan momentum yang sangat strategis bagi revolusi perlindungan Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia. Salah satu hal yang sangat mengganjal adalah soal terminologi Penyandang Cacat yang saya nilai perlu menjadi bagian dari perubahan. Karena itu saya mengusulkan agar kita perlu menggelar semiloka khusus untuk itu dalam rangka menggali terminologi baru pengganti istilah Penyandang Cacat” pintanya kepada para peserta rapat.
Gagasan Saharuddin tersebut, ternyata direspon positif oleh sejumlah pejabat Kemensos khususnya Dirjen Rebsos : Makmur Sunusi. Melalui kerjasama yang baik antara Komnas HAM dan Kemensos, maka semiloka tersebut berhasil digelar pada tanggal 8 dan 9 Januari 2009 di Pusat Rehabilitasi Fokasional Daksa di Cibinong Bogor. Hadir dalam semiloka tersebut, perutusan organisasi Disabilitas Nasional, Regional maupun lokal yang di Supervisi berbagai Pakar Kebahasaan. Semiloka merekomendasikan 9 istilah pengganti terminologi Penyandang Cacat.
Untuk memantapkan eksplorasi terminologi pengganti istilah Penyandang Cacat sebagaimana yang digagas dalam semiloka Cibinong Bogor 2009, maka pada tanggal 19 dan 20 Maret 2010 di Jakarta Komnas HAM kembali menyelenggarakan FGD terbatas bagi para pakar untuk memilih satu atau menemukan istilah lain di antara beberapa istilah yang telah direkomendasikan semiloka Cibinong menjadi terminologi baru mengganti istilah Penyandang Cacat. FGD tersebut diikuti oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu maupun pihak terkait lainnya meliputi pakar linguistik, komunikasi, filsafat, sosiologi, unsur pemerintah, komunitas Penyandang Cacat dan Komnas HAM sendiri.
Setelah terlibat dalam perdebatan panjang terjadi kejutan besar dengan munculnya istilah baru yaitu “Orang Dengan Disabilitas” sebagai terjemahan dari “Persons With Disability” dari CRPD. Berdasarkan saran dari pusat bahasa yang menetapkan kriteria peristilahan yang baik adalah frase yang terdiri dari dua kata, maka istilah Orang Dengan Disabilitas dipadatkan menjadi “Penyandang Disabilitas”.
Selain memenuhi kriteria yang dipersyaratkan, istilah Penyandang Disabilitas juga lebih mengakomodasi unsur-unsur utama dari kondisi real yang dialami Penyandangnya. Hal ini dapat dirujuk pada bagian preambul huruf (e) CRPD : “Recognizing that disability is an evolving concept and that disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers, that hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others”.
Jadi CRPD dalam preambulnya menegaskan bahwa Disabilitas adalah suatu konsep yang berkembang secara dinamis dan Disabilitas adalah hasil dari interaksi antara orang-orang yang tidak sempurna secara fisik dan mental dengan hambatan-hambatan lingkungan yang menghalangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain. Hal ini lebih dipertegas lagi pada kalimat terakhir dari artikel 1 CRPD : Persons with disabilities include those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others.
Berdasarkan ketentuan dalam artikel 1 CRPD, dirumuskan secara gamblang bahwa Penyandang Disabilitas adalah mereka yang memiliki kelainan fisik, mental, intelektual, atau sensorik secara permanen yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan. Dengan demikian maka pemilihan istilah Penyandang Disabilitas, sungguh telah merepresentasikan kebutuhan minimal terminologi pengganti istilah Penyandang Cacat.
Menurut informasi dari pusat bahasa bahwa istilah Disabiltas, sebenarnya telah dibakukan dalam glosarium pusat bahasa dan dalam waktu dekat akan masuk dalam thesaurus dan kamus besar bahasa Indonesia. Dalam persfektif internasional, istilah Penyandang Disabilitas sesuai betul dengan judul CRPD, sehingga penerjemahan naskah CRPD ke dalam Bahasa Indonesia, sangat fleksibel dan jauh dari kerancuan bahasa. Dengan pelembagaan istilah Penyandang Disabilitas sebagai pengganti istilah Penyandang Cacat, dapat menjadi modal dasar dalam mempermudah penyusunan naskah akademik draft RUU tentang pengesahan CRPD. Hasil FGD ini kemudian disahkan oleh rapat organisasi Disabilitas secara koprehensif pada tanggal 30 April hingga 2 Mei 2010 di Bandung. Sejak itulah istilah Penyandang Disabilitas resmi dipromosikan sebagai pengganti istilah Penyandang Cacat.
Saharuddin menegaskan bahwa agenda berikutnya pasca ratifikasi konvensi adalah meninjau ulang UU No.4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Saat ini Komnas HAM telah melakukan pengkajian tentang upaya pembaharuan undang-undang tersebut yang semula berciri social base, kini lebih diperkaya dengan muatan yang lebih komprehensif dengan fokus human rights base. “Kalau pengkajiannya sudah rampung, saya akan serahkan hasilnya kepada Kementrian Sosial sebagai focal point RUU tentang Jaminan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Hal terpenting dari RUU ini, bukan semata-mata pada aspek aksesibilitas, tetapi substansi pengaturannya mencakup semua bidang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, menghapus segala bentuk diskriminasi, terutama klausul sehat jasmani dan rohani serta mekanisme law inforcement yang lebih pasti dengan melembagakan prinsip perlakuan khusus dan perlindungan lebih sebagai asas umum pengaturan Hak Penyandang Disabilitas yang bersifat Universal” urainya disela-sela anggota DPR yang saling bersalam-salaman di teras gedung Nusantara II.
Pada saat yang sama, Maulani salah seorang tokoh penyandang disabilitas, juga berbagi kebahagiaan dengan sekitar 20 rekan senasib yang ikut hadir dalam rapat paripurna DPR. Mereka saling berpelukan. "Kita sudah menunggu ini lima tahun semenjak masih draf di PBB," kata Maulani.
Dengan konvensi yang disahkan PBB tahun 2006 itu, kata Maulani, para penyandang disabilitas dapat berkontribusi dalam pembangunan. Konvensi ini, lanjut dia, mengatur jauh lebih luas ketimbang UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Dengan ratifikasi itu, pemerintah harus menjamin hak-hak penyandang disabilitas yang diatur dalam konvensi yakni hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena. Hak penyandang disabilitas lain yakni mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapat perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian.
Sebelum meninggalkan gedung DPR, Saharuddin Daming didampingi para tokoh Penyandang Disabilitas yang hadir, memberikan ucapan selamat kepada Mensos : Salim Assegaf Aljufri, yang berjalan keluar dari gedung Nusantara II di iringi para pejabat teras Kemensos dan sejumlah anggota Komisi VIII DPR. Mereka kemudian berfoto bersama diselingi berbagai ungkapan bernada optimisme dan kegembiraan dari Mensos yang disambut dengan antusias tokoh Penyandang Disabilitas yang menghampirinya.

Sabtu, 15 Oktober 2011

RAPAT KERJA Pembahasan RUU HAK-HAK Penyandang DISABILITAS

NASIONALIS RAKYAT MERDEKA - Oktober 15, 2011

Rapat Komisi DPR RI RUU Disabilitas

Menlu RI Marty Natalegawa Menyampaikan Keterangannya kepada Pers Usai Rapat Komisi VIII DPR RI..."

Jakarta(12/10/2011),Komisi VIII DPR bersama Menteri Luar Negeri, Menteri Sosial dan Menteri Hukum dan Ham pada 12 Oktober 2011 bertempat di Gd. Nusantara
II DPR RI, Jakarta, melakukan Rapat Kerja untuk pembahasan RUU tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Rapat Kerja diawali dengan sambutan dari
Menteri Luar Negeri R.M. Marty M. Natalegawa mengenai keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang RI tentang Pengesahan Undang-Undang Hak-Hak PENYANDANG
DISABILITAS. Dalam sambutannya Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan bahwa Rapat Kerja kali ini adalah merupakan kelanjutan dari Rapat Dengar
Pendapat Komisi VIII dengan wakil Pemerintah dan Kementrian Luar Negeri pada tanggal 26 September 2011.Proses yang bergulir sangat cepat sejak surat Presiden
RI menyampaikan RUU Pengesahan Konvensi ini telah disampaikan kepada DPR RI pada tanggal 23 Juni 2011 lalu. Hal ini menunjukan kepedulian kita semua yang
sangat tinggi terhadap hak-hak masyarakat penyandang Disabilitas, ungkap Menteri Marty Natalegawa lebih lanjut. “Harapan kami tentunya, melalui pengesahan Konvensi ini, Indonesia memiliki kerangka hukum yang lebih komprehensif dan kuat yang menjadi dasar bagi Negara
untuk semakin menyejahterakan rakyatnya, khususnya para penyandang disabilitas.

Kemudian Rapat Kerja juga diisi dengan pendapat dari masing-masing Fraksi yang hadir seperti Fraksi PDIP, Partai Demokrat, GOLKAR, PKS, dll.Segera setelah penandatanganan dimaksud, serangkaian persiapan ratifikasi Konvensi (termasuk
sosialisasi) yang berujung pada penyelesaian naskah RUU tentang ratifikasi dan Naskah Akademik dilakukan segera setelah penandatanganan. Kesuluruhan proses
melibatkan wakil organisasi penyandang disabilitas.

Menurut Rina Prasarani, Kepala Departemen Pemberdayaan Perempuan DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia),
adanya konvensi ini hendaknya dapat mendorong para tunanetra untuk menyadari hak-haknya. Kementrian Luar Negeri sebagai lembaga yang berperan penting pada
proses ratifikasi konvensi ini telah menunjukan kesungguhannya dan memfasilitasi serta memberikan dukungan yang bersifat konsultatif serta koodinatif.

Kami memandang dukungan Kementrian Luar Negeri RI ini sebagai salah satu wujud keseriusan pemerintah untuk memproses ratifikasi hukum internasional demi
meningkatkan martabat dan kesejahteraan para Penyandang Disabilitas sebagai bagian yang integral dari masyarakat Indonesia, ungkap Rina Prasarani sebagai
penutup.Dengan menjadi pihak pada Konvensi ini maka akan terbuka peluang lebih luas bagi Indonesia untuk mengembangkan kerjasama Internasional, termasuk
meningkatkan kapasitas nasional kita dalam menjamin penghormatan HAM penyandang disabilitas sesuai dengan isi Konvensi ini…

Oleh : Santi Widianti

Sabtu, 08 Oktober 2011

Musda V Pertuni Daerah Sulawesi Selatan

Musyawarah Daerah (Musda) V Sulawesi Selatan diselenggarakan di Makasar pada tanggal 23-24 Juli 2011. Karena Musda tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang calon Ketua DPD dan tidak sempat membahas pencalonan Ketua Deperda masa bakti 2011-2016, maka Musda dilanjutkan di bawah pengawasan langsung DPP Pertuni dan dilaksanakan secara koresponden selama bulan Agustus dan September.
Hasilnya adalah Sdr. Muhammad Sonny Sandra terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Pertuni Seulawesi Selatan, dan Sdr. Muhammad Lutfi terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (Deperda) Pertuni Sulawesi Selatan masa bakti 2011-2016
Pelantikan diselenggarakan di Hotel Kamanre, Makasar, pada tanggal 6 Oktober 2011.

Rabu, 07 September 2011

Akses Tunanetra ke Uang Rupiah

Akses tunanetra ke uang kertas rupiah sudah bertahun-tahun diperbincangkan dan bahkan Pertuni sudah mengajukan resolusi kepada pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Satu-satunya respon yang positif adalah Bank Indonesia pernah mengeluarkan uang kertas rupiah dengan “tanda tunanetra” berupa lingkaran yang sejauh tertentu dapat dirasakan oleh ujung jari. Namun demikian, itu tetap tidak memecahkan persoalan akses tunanetra ke uang kertas rupiah. Ini berarti bahwa para tunanetra masih harus bergantung pada bantuan orang awas untuk mengenali nilai uang yang dimilikinya.

Berikut ini adalah kutipan dari mailing list mitra-jaringan@yahoogroups.com yang menggambarkan betapa persoalan aksesibilitas rupiah masih menjadi masalah bagi para tunanetra dan mereka masih belum mendapatkan haknya untuk mandiri dalam mengenali nilai uang.
###

From: "suryandaru semarang"
Sent: Tuesday, September 06, 2011 12:59 PM

Teman-teman, saya mohon informasi apakah memang uang kertas sekarang sudah tidak dilengkapi tanda penunjuk bagi tunanetra?
###

From: Suratim
Sent: Tuesday, September 06, 2011 2:16 PM

Ada.
Untuk pecahan 100ribu terdapat dua buah lingkaran yang bisa diraba.
tapi terutama ketika uang kertas masih dalam keadaan baik.
kalo uang kertas sudah lusuh, tanda tunanetra tersebut tidak mungkin lagi dikenali.
###

From: Nur Ichsan
Sent: Wednesday, September 07, 2011 12:48 PM

Baik yang 100 ribu keluaran 2009 atau 2010 maupun yang 50 ribu keluaran 2009 yang baru, saat ini tidak ada notasi aksesibilitasnya.

Nur Ichsan
###

From: Didi Tarsidi
Sent: Wednesday, September 07, 2011 4:14 PM

"Tanda tunanetra" yang digunakan pada uang rupiah sejak awal memang tidak pernah efektif. Tanda lingkaran (yang digunakan sebagai tanda tunanetra) itu pada intinya adalah garis. Pada masa awal pengembangan tulisan Braille, Louis Braille telah mengesampingkan penggunaan garis karena dia mendapati bahwa garis tidak mudah dikenali oleh ujung-ujung jari. Oleh karena itu, tulisan Braille hanya terdiri dari titik-titik.
Akan tetapi, garis ataupun titik sebagai penanda nilai uang kertas tidak pernah efektif ketika uang itu sudah beredar dan sudah menjadi kusut atau lusuh.
Satu cara lain yang jauh lebih efektif dan tidak terkesan khusus bagi tunanetra adalah dengan membedakan ukuran besarnya (panjang dan lebarnya) secara konsisten dan proporsional. Konsisten artinya satu nilai uang hanya mempunyai satu ukuran. Proporsional artinya nilai uang yang lebih tinggi mempunyai ukuran yang lebih besar.
Karakteristik ini saya temukan pada uang Krone Norwegia dan dollar Australia (meskipun dollar Australia tidak membedakan ukuran lebarnya).
Ukuran panjang dollar Australia yang sempat saya catat adalah sebagai berikut:
50 $ = 153 mm.
20 4$ = 145 mm.
10 $ 137 mm.
Berdasarkan fenomena ini, Blind Citizens Australia telah menciptakan alat pendeteksi uang kertas yang sangat akurat dan murah, dari bahan plastik dengan teknologi rendah. Alat ini didistribusikan kepada para tunanetra di Australia secara cuma-cuma.
Dengan Ukuran uang rupiah yang tidak konsisten dan tidak proporsional, teknologi ini tidak akan dapat diterapkan untuk kepentingan orang tunanetra di Indonesia.
Penting untuk dicatat bahwa agar bermakna bagi orang tunanetra, perbedaan ukuran uang kertas itu harus sekurang-kurangnya 4 mm. Perbedaan yang hanya 1 atau 2 mm (seperti pada uang rupiah keluaran tahun tertentu) tidak akan mudah terdeteksi terutama apabila uang itu sudah kusut.

Didi Tarsidi

Jumat, 29 Juli 2011

Musda Pertama Pertuni Kalimantan Tengah

Musyawarah Daerah (Musda) pertama Pertuni Daerah Kalimantan Tengah diselenggarakan di Palangkaraya pada tanggal 29 Juli 2011. Untuk kepengurusan masa bakti 2011-2016, Sdr. Mulyansyah terpilih sebagai Ketua DPD (Dewan Pengurus Daerah), dan Sdr. Pinderson terpilih sebagai Ketua Deperda (Dewan Pertimbangan Daerah).

Minggu, 26 Juni 2011

Musda VII Pertuni Daerah Jawa Timur 20-22 Juni 2011

Musyawarah Daerah (Musda) VII Pertuni Daerah Jawa Timur diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 20-22 Juni 2011.
Sdr. Sudarmaji terpilih sebagai Ketua Pertuni Daerah Jawa Timur masa bakti 2011-2016, sedangkan Sdr. Yusup Walean terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (Deperda) Pertuni Jawa Timur masa bakti 2011-2016.

Minggu, 30 Januari 2011

Lomba Mengarang Esei Braille Onkyo 2011

Lomba Mengarang Esei Braille Onkyo 2011

Proyek disponsori oleh the Onkyo Corporation Ltd. Dan The Braille Mainichi Newspaper bekerjasama dengan World Blind Union Asia-Pacific dan Pertuni)

1. Tujuan
1.1 Meningkatkan melek huruf Braille dan memupuk kebiasaan membaca/menulis di kalangan para tunanetra di wilayah Asia-Pasifik.

1.2 Meningkatkan interaksi sosial budaya di kalangan para tunanetra di wilayah Asia-Pasifik melalui tulisan.

1.3 Mendorong para tunanetra memanfaatkan potensinya dalam bidang tulis-menulis sebagai sumber pendapatan.

1.4 Mendorong para tunanetra untuk berperan aktif dalam mengubah makna ketunanetraan melalui tulisan.

2. Topik-topik Karangan (pilih salah satu):
2.1 Bagaimana Braille telah mengubah kehidupan saya dan membantu keberhasilan saya

2.2 Bagaimana Braille dan buku-buku audio telah membantu saya menjalani kehidupan secara normal

2.3 Tantangan dan solusi bagi seorang tunanetra dalam mewujudkan cita-citanya menjadi seorang musisi

3. Persyaratan:
Partisipasi dalam lomba mengarang esei ini terbuka bagi semua orang tunanetra usia 14 tahun ke atas di wilayah Asia-Pasifik (Kecuali mereka yang berasal dari Jepang atau pernah memenangkan hadiah Atsuki) dengan persyaratan sebagai berikut.

3.1 Format Karangan:
3.1.1. Karangan ditulis dalam bentuk esei dalam bahasa Indonesia dengan tulisan Braille menggunakan reglet atau mesin tik Braille (tidak boleh menggunakan komputer).
3.1.2. Panjang karangan antara 750 hingga 1000 kata. Karangan yang terlalu pendek atau terlalu panjang akan didiskualifikasi.

3.2 Karangan harus original dan setiap peserta hanya diperbolehkan mengirimkan satu karangan.

3.3. Karangan dikirimkan kepada:
Panitia Seleksi Onkyo Nasional, DPP Pertuni, Jl. Raya Bogor km.19, Ruko Blok Q No. 13-L, Kramat Jati, Jakarta Timur 13510.

3.4. Karangan harus sudah diterima di DPP Pertuni selambat-lambatnya tanggal 30 April 2011.

3.5 Karangan harus dilengkapi dengan informasi sebagai berikut:
a) Nama lengkap
b) Umur
c) Jenis kelamin
d) Telepon, fax dan email
e) Status pekerjaan (siswa, ibu rumah tangga, dll.)
f) Nama, alamat dan e-mail organisasi atau lembaga di mana anda aktif
g) Lampirkan pasfoto dan fotokopi KTP atau kartu pelajar/mahasiswa atau kartu anggota organisasi

3.5 Lomba ini terbuka bagi dua kelompok usia:
Kelompok A: Tunanetra usia 14-25 tahun
Kelompok B: Tunanetra usia 26 tahun atau lebih.

3.6. Panitia Seleksi Onkyo Nasional akan memilih lima karangan terbaik untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikirimkan ke Panitia Seleksi Onkyo Asia-Pasifik untuk diperlombakan ditingkat Asia-Pasifik.

4. Pengumuman dan Hadiah:

Panitia Seleksi Onkyo Asia-Pasifik akan menentukan tujuh orang pemenang dari kedua kelompok usia.
Pemenang lomba ini akan diumumkan pada awal bulan Nopember 2010.

Hadiah terdiri dari:

4.1. Otsuki Prize: seribu US Dollar dan sebuah trofi diberikan kepada seorang juara umum di antara kedua kelompok usia.

4.2. Excellent Works: lima ratus US dollar dan sebuah trofi. Dua hadiah akan diberikan, masing-masing satu kepada masing-masing kelompok usia.

4.3. Fine Works: dua ratus US dollar. Empat hadiah akan diberikan, masing-masing dua hadiah untuk masing-masing kelompok usia.

5. Hak Cipta (Copyright)
Esei pemenang akan menjadi hak The Onkyo Corporation Ltd. Dan the Braille Mainichi Newspaper, dan mereka berhak mempublikasikannya dengan cara yang mereka kehendaki.

Selamat berlomba!

DR. Didi Tarsidi, Ketua Umum Pertuni

Sabtu, 29 Januari 2011

LOKAKARYA NASIONAL TENTANG HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS

Dibandingkan dengan isu HAM kaum minoritas yang lain, isu penyandang disabilitas – atau yang dulu biasa disebut penyandang cacat – tampaknya masih belum mendapatkan perhatian yang layak. Padahal, di dunia internasional isu tersebut sudah memperoleh perhatian lebih serius. Salah satu buktinya adalah dengan disahkannya Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) dalam pertemuan Majlis Umum PBB. Sayangnya, konvensi ini belum banyak diketahui oleh masyarakat, termasuk para penyandang disabilitas sendiri yang tentunya sangat berkepentingan dengannya.

Berdasarkan hal itu, maka pada tanggal 25-26 Januari 2011, DPP Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), atas dukungan lembaga donor internasional untuk penyandang disabilitas (Dissabilities Rights Fund /DRF) serta Kementerian Luar Negeri RI, menyelenggarakan kegiatan Lokakarya Nasional Tentang Hak Penyandang Disabilitas, bertempat di Graha Carakal Loka - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Jl. Sisingamangaraja no. 73, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kegiatan ini akan berlangsung selama dua hari. Hari pertama (Selasa) akan dibuka untuk umum, yang diperkirakan sekitar 200 undangan dari berbagai pihak seperti pihak pemerintah RI, duta besar negara sahabat, LSM pengiat HAM, organisasi-organisasi Disabilitas/kecacatan, tokoh-tokoh pemerhati isu disabilitas seta anggota PERTUNI. Sedangkan hari kedua (Rabu) diperuntukkan khusus bagi para anggota Pertuni dari DPD DKI Jakarta, DPD Propinsi Banten, dan DPD Propinsi Lampung.


Lokakarya ini secara resmi dibuka oleh Wakil Menteri Luar Negeri RI, Triyono Wibowo,yang juga memberikan keynote speech dengan tema: “Peran Indonesia dalam mendorong proses ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas sebagai wujud pemajuan, perlindungan serta pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia”.

Secara khusus, lokakarya ini mengupas berbagai aspek tentang KONVENSI, mulai dari aspek historis lahirnya kebijakan tersebut, perkembangannya, analisis produk perundang-undangan di Indonesia yang bertentangan denganya, sampai pada keterkaitan dan optimalisasinya terhadap upaya pemenuhan hak perempuan penyandang disabilitas di Indonesia; dengan menampilkan narasumber-narasumber dari DPP PERTUNI, Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Sosial RI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI.

Alasan utama diselenggarakanya kegiatan ini, menurut Rina Prasarani, Koordinator Kegiatan Lokakarya, adalah untuk memberikan informasi kepada para penyandang disabilitas, khususnya anggota Pertuni, tentang KONVENSI. Dengan adanya informasi tersebut, diharapkan para tunanetra akan makin menyadari haknya dan secara aktif mendorong pemerintah untuk memenuhi hak-hak mereka. “Kita ingin agar teman-teman tunanetra aktif mendorong pemerintah supaya segera meratifikasi KONVENSI ini, karenanya mereka perlu faham dulu apa isinya,” demikian ungkap Rina.







Adapun target utama kegiatan ini, lanjut Rina, adalah terbangunnya kapasitas lokal di kalangan pengurus dan anggota Pertuni, sehingga mereka lebih aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Lebih jauh, lokakarya ini juga diharapkan akan mampu merumuskan rencana aksi nyata untuk terus memantau perkembangan realisasi KONVENSI di Indonesia hingga sampai proses ratifikasi dan implementasinya.

Usai lokakarya ini, dalam waktu dekat DPP Pertuni juga akan menyelenggarakan kegiatan serupa di berbagai daerah lain, meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Dengan begitu diharapkan pemahaman tentang nilai dan esensi KONVENSI ini dapat lebih tersebar, sehingga dorongan bagi proses ratifikasi konvensi ini di Indonesia akan makin menguat.


Sekilas Tentang KONVENSI

Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) Adalah sebuah pengakuan masyarakat internasional terhadap hak penyandang Disabilitas untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya. Konvensi ini telah disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam sidang ke-61 , tanggal 13 Desember 2006. Peristiwa ini lalu ditindaklanjuti dengan penandatanganan konvensi tersebut oleh sekitar 80 negara, termasuk Indonesia yang diwakili Mensos Bachtiar Chamzah, pada tanggal 30 Maret 2007.

Prinsip-prinsip yang termuat dalam konvensi tersebut antara lain: menghormati harkat dan martabat Penyandang Disabilitas , non-diskriminatif, partisipasi penuh, aksesibilitas, penghormatan terhadap perbedaan dan penerimaan Penyandang Disabilitas sebagai bagian dari keanekaragaman manusia dan kemanusiaan. Sesungguhnya tidak ada hak-hak baru bagi penyandang Disabilitas yang termuat di dalamnya; juga tidak ada sesuatu hak yang warga masyarakat lainnya tidak miliki sebelumnya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang Disabilitas harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya. Konvesi ini sekaligus merupakan refleksi perubahan paradigma dalam penanganan masalah penyandang Disabilitas dari yang bersifat remedial dan belas kasihan pada pendekatan hak asasi manusia.

Jutaan penyandang Disabilitas dunia berharap konvensi tersebut dapat membawa perubahan pada terciptanya masyarakat yang tidak diskriminatif dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan bidang kehidupan lainnya, termasuk informasi dan lingkungan fisik yang bebas hambatan bagi semua; kesamaan untuk mendapatkan jaminan di muka hukum dan inklusif secara penuh dalam masyarakat tanpa membedakan usia, jenis kelamin, lokasi tempat tinggal dan jenis ketunaan yang disandangnya.

Keikutsertaan Pemerintah Indonesia untuk menandatangani konvensi tersebut tentunya bukan sekedar basa basi pergaulan masyarakat internasional, karena selain membawa konsekuensi tindak lanjut (pemantauan oleh dunia internasional), negara ini juga berkepentingan untuk mengimplementasikannya sebagai negara yang mempunyai prevalensi disabilitas (angka kecacatan) yang cukup tinggi – mencapai 39 persen dari jumlah penduduk - menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan tahun 2001.





Sekilas Tentang Pertuni

Pertuni adalah organisasi kemasyarakatan (ormas) tunanetra tingkat nasional. Sebagai ormas, Pertuni berfungsi sebagai wadah para tunanetra Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara dan sebagai anggota masyarakat, yang mengupayakan keadaan yang kondusif bagi para tunanetra agar dapat menjalani kehidupan sebagai manusia dan warganegara Republik Indonesia yang cerdas, mandiri, produktiftanpa diskriminasi dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Berdiri pada tanggal 26 Januari 1966 di Yogyakarta, saat ini Pertuni sudah memiliki 31 Dewan Pengurus Daerah (DPD) di tingkat Propinsi dan 161 Dewan Pengurus Cabang (DPC) di tingkat kabupaten/kota.


Sekilas tentang Pendukung Kegiatan

Lokakarya ini didukung oleh Disability Rights Fund dan Kementerian Luar Negeri RI. Dissability Rights Fund (DRF) adalah lembaga donor kolaboratif yang sangat concern pada upaya-upaya pemberdayaan Organisasi penyandang disabilitas (Disabled Peoples’ Organization) di berbagai negara di dunia. Bermarkas besar di Boston, Amerika Serikat dan beroperasi dengan dukungan dari Aepoch Fund, an anonymous donor, American Jewish World Service, the Australian Agency for International Development (AusAID), the Open Society Institute, The Sigrid Rausing Trust, dan the UK government’s Department for International Development (DFID). Fokus DRF adalah program-program yang memaksimalkan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (cRPD) dalam rangka pemenuhan Hak-hak dasar para penyandang disabilitas. Dalam kegiatan lokakarya ini, Pertuni mendapatkan bantuan dari DRF.
Kementerian Luar Negeri RI sangat berperan besar dalam kegiatan ini, tidak hanya memfasilitasi, namun dukungan yang bersifat konsultatif serta koordinatif sangat membantu DPP PERTUNI dalam mencapai tujuan utama dari kegiatan ini. “Bahkan diantara kesibukan yang cukup padat, Bapak Menteri Luar Negeri, Bapak Martin Natalegawa, mau meluangkan waktunya untuk duduk bersama DPP PERTUNI untuk secara langsung memberikan arahan kegiatan ini. Bagi kami Kementerian Luar Negeri memberikan dukungan yang responsif serta konkrit”, tutur Otje Soedioto, S.H., Ketua I DPP PERTUNI yang membawahi bidang Keorganisasian dan Hubungan Antar Lembaga. DR. Didi Tarsidi, M.Pd., Ketua Umum DPP PERTUNI pun menambahkan, “Kami memandang dukungan Kementerian Luar Negeri RI atas CRPD training ini sebagai salah satu wujud keseriusan pemerintah untuk memproses ratifikasi hukum internasional ini demi meningkatkan martabat dan kesejahteraan para penyandang disabilitas sebagai bagian yang integral dari masyarakat Indonesia. Kami sangat berharap CRPD ini dapat diratifikasi pada tahun ini.”

Untuk informasi lebih lanjut hubungi:

Sekretariat DPP PERTUNI
Jl. Raya Bogor KM.19, Ruko Blok Q No.13-L
Kel. Kramat Jati, Jakarta Timur - 13510
Telp: 021-8005480, Fax: 021-8013402

Kontak person:
Rina Prasarani : 0818 876 944

Jumat, 28 Januari 2011

Musda ke-5 Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) DKI

INILAH.COM, Jakarta - Musda ke-5 Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta sepakat mendukung rancangan peraturan daerah yang mengatur tentang hak-hak penyandang disabilitas.

Dalam keterangannya persnya, Jumat (28/1), Pertuni DKI menggelar Musda pada 25-28 Januari 2011 bersamaan dengan peringatan hari jadi Pertuni ke 45 itu.
Musda merekomendasikan 88 butir hak-hak penyandang cacat yang akan diajukan kepada DPRD DKI Jakarta.

Musda dibuka Gubernur DKI Fauzi Wibowo. Dalam sambutannya gubernur mengajak kemitraan Pertuni dengan pemerintah DKI terus ditingkatkan. “Sehingga kebijakan-kebijakan
Pemprov DKI tentang penyandang disabilitas lebih menyentuh serta dirasakan langsung,” ungkap Fauzi Bowo, seperti dikutip dalam releasi Pertuni DKI itu.

Musda juga berhasil menetapkan Eka Setiawan Spd sebagai Ketua Dewan Pertuni Provinsi DKI Jakarta serta Totok Sugiatno sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah Masa Bakti periode 2011-2016.