Sabtu, 17 Januari 2015

Musda VI Pertuni Sumatera Selatan, 28-30 Desember 2014



Musyawarah Daerah (Musda) VI  Sumatra Selatan diselenggarakan di Aula Mess Pramuka, Kota Palembang pada tanggal 28-30 Desember 2014. Musda dibuka secara resmi  oleh Gubernur Propinsi Sumatera Selatan yang diwakili oleh Drs. Ms. Sumarwan, M.M., Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial, Dinas Sosial Propinsi Sumatera Selatan.

Musda VI Sumatera Selatan berhasil menetapkan:
1.       Sdr, Agus Palsa sebagai Ketua Daerah Pertuni Sumatera Selatan masa bakti 2014-2019.
2.       Sdr. Suvinal Masri sebagai Ketua Pertimbangan Daerah Pertuni Sumatera Selatan masa bakti 2014-2019.
3.       Program kerja Pertuni Daerah Sumatera Selatan  2014-2019


Rina Prasarani  melaporkan dari Palembang, Sumatera Selatan.

Kamis, 08 Januari 2015

Sekolah Reguler, Tempat Terbaik bagi Anak-anak Tunanetra untuk Belajar




“Jika Tak Ada Hambatan Kecerdasan, Tempat Belajar Terbaik Anak-Anak Tunanetra Adalah Di Sekolah Reguler”.


Pagi itu saya memulai hari dengan meluncur ke Universitas  Negeri Jakarta (UNJ). Saya diundang menjadi narasumber  pada “case conference” mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) semester pertama universitas tersebut.  Selama satu semester,  mereka mengikuti mata kuliah yang membahas persepsi tentang tunanetra. Dan DR. Asep Supena, dosen pengampu mata kuliah tersebut menugasi mereka melakukan pengamatan langsung bagaimana tunanetra menjalani kehidupan sehari-hari di keluarga, atau di sekolah. Para mahasiswa kemudian diminta menuliskan hasil pengamatan mereka dalam bentuk buku kecil yang dicetak secara sederhana, serta diminta untuk mempresentasikannya dalam sebuah “case conference”.

Di samping saya, hadir pula dua orang tunanetra lain yang juga diminta menjadi narasumber,  yaitu mahasiswa jurusan PLB yang sedang menyusun skripsi, serta seorang tunanetra ibu rumah tangga  dan memiliki 4 orang anak,tiga di antaranya juga tunanetra.

Bagi saya, undangan menghadiri pertemuan semacam ini saya anggap sangat  penting. Mahasiswa jurusan PLB kela akan menjadi salah satu ujung tombak pendidikan anak-anak tunanetra di negeri ini. Mereka perlu memiliki persepsi dan keyakinan  yang benar tentang bagaimana pendidikan anak-anak tunanetra dan disabilitas pada umumnya. Persepsi dan keyakinan yang benar ini akan mempengaruhi cara pikir, sikap dan perilaku mereka saat menjadi guru kelak.

Telah sering saya menerima informasi secara lisan  dari teman-teman tunanetra,  bahwa sebagian guru-guru SLB melarang anak-anak tunanetra melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi ke sekolah reguler –sekolah umum bukan SLB. Berbagai alasan mereka kemukakan, berbagai cara pun mereka lakukan, dengan satu tujuan agar anak-anak tunanetra tetap tinggal dan bersekolah di SLB hingga menyelesaikan pendidikan 12 tahun. Padahal anak-anak tunanetra tersebut tidak memiliki hambatan kecerdasan, yang semestinya dapat melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke sekolah reguler setelah menyelesaikan sekolah dasar di SLB. Yang sebenarnya terjadi adalah guru-guru SLB tersebut khawatir kehilangan murid, jika anak-anak tunanetra melanjutkan pendidikan ke sekolah reguler.

Saat menerima undangan dari Sang Dosen, saya sudah merencanakan  bahwa saya harus mengatakan sesuatu pada calon-calon guru ini. Suatu keyakinan yang telah dibuktikan secara nyata oleh   tunanetra di dunia ini, yang saat ini telah berkiprah di masyarakat. Keyakinan yang telah dibangun menjadi sebua gerakan berskala global untuk membawa dan terus membawa lebih banyak anak-anak tunanetra bersekolah ke sekolah reguler, yang disebut  “pendidikan inklusif”.

“Jika anak-anak tunanetra tak memiliki hambatan kecerdasan, tempat belajar terbaik untuk mereka adalah di sekolah reguler bersama  anak-anak yang tidak tunanetra”. Kalimat itu saya katakan beberapa kali sepanjang saya menjalankan tugas sebagai nara sumber. “Saya adalah produk dari keyakinan tersebut”, kalimat itu saya nyatakan untuk lebih meyakinkan mereka. Saya pun menceritakan kelebihan apa yang saya dapatkan saat saya menempuh pendidikan di sekolah reguler, hingga saya menjadi sosok mandiri dan dapat berkarya di masyarakat seperti sekarang. Di antaranya, belajar bersosialisasi dengan mereka yang tidak menyandang disabilitas;  menumbuhkan semangat bersaing yang sehat karena jumlah siswa di sekolah reguler jauh lebih banyak dibanding jumlah siswa di SLB; pengalaman-pengalaman berharga dalam bentuk bermain dan bekerja sama dengan teman-teman  yang tidak tunanetra yang tidak akan saya dapatkan dengan begitu maksimal jika saya menempuh pendidikan di SLB; dan sebagainya.

Saya juga mengajak para mahasiswa agar membangun persepsi  yang benar tentang “disabilitas”. Mulai dari penggunaan istilah,  agar  tidak  lagi menggunakan kata “penyandang cacat” yang berkonotasi sangat negatif.   Hingga ajakan untuk memaknai disabilitas sebagai bagian dari perbedaan, dan apa alasan di balik itu semua. “Perbedaan karena disabilitas berdampak  pada munculnya kebutuhan khusus, dan kebutuhan khusus itu harus dipenuhi oleh lingkungan, termasuk kebutuhan  khusus di bidang pendidikan”.

“Menjadi tunanetra itu bukan pilihan. Menjadi tunanetra adalah fakta yang harus diterima dan dijalani. “Tunanetra tidak akan terhambat dalam menjalani kehidupan  sehari-hari jika lingkungan memberikan dukungan positif”. “Dukungan diberikan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan khusus mereka”.

Menjadi tugas   Pemerintah untuk membangun kebijakan yang mengakomodasikan pemenuhan kebutuhan khusus warga negara penyandang disabilitas.  Dorongan agar pemerintah membangun kebijakan dalam pemenuhan kebutuhan khusus   warga negara penyandang disabilitas  saat ini dilakukan antara lain dalam bentuk  mendorong proses legislasi pengesahan rancangan undang –undang disabilitas baru, menggantikan undang-undang yang saat ini ada – Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 – yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Tahun lalu, pada sidang paripurna   terakhir masa  sidang Oktober-Desember 2014, Ketua DPR telah menyatakan bahwa pembahasan RUU disabilitas akan menjadi prioritas tahun ini.

Aria Indrawati.
Ketua Umum Pertuni


Sabtu, 03 Januari 2015

Tunanetra Juga Berhak Membaca



“Buku adalah jendela dunia”. Demikian bunyi ungkapan yang sudah amat akrab di telinga kita. Ungkapan ini lahir didasari pemikiran, bahwa hanya dengan membaca berbagai macam buku, kita dapat memperoleh banyak pengetahuan. . Tak jarang pula yang mengakui, bahwa bukulah yang membuat seseorang terinspirasi akan suatu hal. Setelah membaca sebuah buku, lantas seseorang mulai berani bermimpi, kemudian melangkah untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, hingga menjelma menjadi manusia yang lebih berarti di lingkungannya. Jelaslah, betapa pentingnya kegiatan membaca bagi peningkatan pengetahuan, wawasan, intelektualitas, bahkan nilai diri seseorang. Sayangnya, manfaat kegiatan membaca yang demikian besar ini belum dirasakan sepenuhnya oleh para penyandang tunanetra.

Tanggal 4 Januari merupakan Hari Braille Dunia (World Braille Day). Hari Braille Dunia diperingati untuk menghormati Louis Braille, penemu huruf braille yang lahir pada 4 Januari 1809. Tahun 1824,Braille diciptakan oleh seorang pria tunanetra, Louis Braille, ketika ia berusia 15 tahun. Pada saat itu, Louis terdaftar di Royal Institution untuk pemuda tunanetra di Paris. Dia ingin membaca buku-buku seperti anak-anak lain . Untuk itu, ia berinisiatif menciptakan alfabet taktil yang dapat mempermudah orang-orang tanpa pengelihatan seperti dirinya agar dapat belajar dan mengakses bahan-bahan bacaan. .

Selama sekitar 200 tahun, tunanetra telah belajar membaca dan menulis dengan menggunakan huruf braille. Braille adalah sistem alfabet taktil dengan 6 titik yang digunakan untuk mewakili huruf, angka dan simbol untuk sebagian besar bahasa di dunia. Sistem ini memainkan peran penting dalam kehidupan jutaan orang tunanetra di seluruh dunia. Dengan kehadiran huruf Braille,  tunanetra dapat mengakses literatur dan belajar, sebagaimana orang-orang yang dapat melihat.

Bagi siswa tunanetra, Braille adalah kunci untuk melek huruf dan bekerja di masa depan. Namun, undang-undang hak cipta di banyak negara saat ini mewajibkan sekolah-sekolah tunanetra  untuk mendapatkan izin terlebih dahulu untuk mereproduksi buku dalam format yang dapat diakses seperti Braille atau cetak ukuran besar (large print). Jika negara tidak memiliki pengecualian hak cipta bagi pembaca tunanetra, hal ini menjadi penghalang utama bagi pendidikan anak-anak tunanetra dan penyandang lemah penglihatan- yang mungkin tidak mendapatkan akses ke buku-buku dan bahan belajar yang mereka butuhkan.

 Buku braille yang dihasilkan oleh organisasi yang melayani tunanetra di satu negara,  tidak dapat disebarluaskan ke negara lain.  Setiap negara perlu untuk menghasilkan buku aksesibel mereka sendiri, menciptakan duplikasi dan alokasi anggaran. Duplikasi dan pengeluaran Anggaran ini bisa dikurangi jika buku Braille bisa dibagi di seluruh perbatasan internasional.

World Blind Union (WBU) adalah organisasi global yang mewakili sekitar 285 juta tunanetra dan penyandang lemah penglihatan di lebih dari 190 negara di seluruh dunia. Anggotanya, terdiri dari organisasi yang dikelola oleh tunanetra yang beradvokasi atas nama mereka sendiri, termasuk organisasi yang melayani tunanetra, serta organisasi-organisasi internasional yang bekerja di bidang gangguan penglihatan. Selama beberapa tahun, World Blind Union (WBU) bekerja sama dengan World Intellectual Property Organization (WIPO) untuk membuat perjanjian yang akan menghilangkan hambatan ini demi pengetahuan dunia. Sebagai hasilnya, lahirlah Perjanjian Marrakesh (Marrakesh Treaty) yang diadopsi oleh WIPO pada Juni 2013.

Marrakesh Treaty adalah perjanjian hak cipta internasional, Perjanjian ini akan mulai berlaku jika telah diratifikasi oleh 20 negara. Negara-negara yang meratifikasi Perjanjian akan diminta agar memiliki pengecualian hukum hak cipta dalam negeri untuk mencetak buku-buku yang aksesibel bagi tunanetra dan penyandang lemah penglihatan, seperti buku Braille, tanpa perlu izin dari pemegang hak cipta. Marrakesh Treaty ini juga memberikan hak pada perpustakaan tunanetra dan organisasi yang melayani tunanetra untuk berbagi versi aksesibel dari buku dan karya-karya literatur lain, sekali lagi tanpa izin pemegang hak cipta.

Saat ini, Marrakesh Treaty telah ditandatangani oleh 81 negara tetapi baru diratifikasi oleh 4 negara, yaitu India, El Salvador, UEA, dan Uruguay. WBU bersyukur, bahwa keempat negara tersebut telah menyadari pentingnya perjanjian ini bagi warga negaranya yang menyandang tunanetra dan lemah penglihatan. Namun untuk membuat perjanjian ini benar-benar efektif, kita perlu semua negara turut meratifikasi. Dengan demikian, jutaan buku dapat diproduksi dalam huruf Braille maupun format aksesibel lainnya. Hanya negara-negara yang meratifikasi perjanjian inilah yang dapat menggunakan buku-buku aksesibel tersebut untuk kepentingan warga negara mereka yang tunanetra.

Mengingat pentingnya isi Marrakesh Treaty, maka WBU mendesak semua negara untuk meratifikasi perjanjian penting ini pada tahun 2015.  Hal ini berarti, pemerintah Indonesia merupakan salah satu pihak yang dimaksud. Pada peringatan Hari Braille Dunia ini, DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia), sebagai organisasi tunanetra tingkat nasional, mendorong pemerintah RI agar segera menandatangani dan meratifikasi Marrakesh Treaty untuk mempermudah  Akses ke penerbitan bahan bacaan  bagi  para tunanetra dan penyandang lemah penglihatan di seluruh Indonesia. 

Pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR RI telah menerbitkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang merupakan pengganti Undang-Undang nomor 19 tahun 2002. Dalam Undang-undang hak cipta Indonesia,  pencetakan  buku  untuk tunanetra telah diatur di dalamnya. Pada Undang-Undang nomor 28 tahun 2014, pengaturan itu ada pada pasal 44 ayat 2, yang berbunyi:“Fasilitasi akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille, buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat komersial.”

Mengacu pada aturan tersebut, lembaga yang menyediakan informasi aksessibel dalam bentuk buku bagi tunanetra, tidak perlu meminta ijin kepada pemegang hak cipta. Yang perlu menjadi catatan, pembuatan buku versi aksessibel itu dilakukan dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap, siapa penulisnya, penerbitnya, cetakan ke berapa dan tahun berapa, dan kegiatan tersebut tidak bersifat komersial.

Namun demikian, aturan ini masih harus disosialisasikan. Dibutuhkan panduan yang lebih rinci, untuk membuat penulis dan penerbit lebih memahaminya. Untuk itu, perlu langkah pro aktif dari Pemerintah, dalam hal ini adalah direktorat Hak kekayaan Intelektual,  serta dukungan komunitas penerbit yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), serta para penulis. Bagaimanapun, Hak Membaca adalah hak asasi manusia yang penting bagi semua orang, tak terkecuali para penyandang tunanetra.


Untuk informasi lebih lanjut:
Aria Indrawati, Ketua Umum DPP Pertuni
Telp:  081511478478 Atau 021-8005480
***