“Jika
Tak Ada Hambatan Kecerdasan, Tempat Belajar Terbaik Anak-Anak Tunanetra Adalah
Di Sekolah Reguler”.
Pagi
itu saya memulai hari dengan meluncur ke Universitas Negeri Jakarta
(UNJ). Saya diundang menjadi narasumber pada “case conference” mahasiswa
jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) semester pertama universitas
tersebut. Selama satu semester, mereka mengikuti mata kuliah yang
membahas persepsi tentang tunanetra. Dan DR. Asep Supena, dosen pengampu mata
kuliah tersebut menugasi mereka melakukan pengamatan langsung bagaimana
tunanetra menjalani kehidupan sehari-hari di keluarga, atau di sekolah. Para
mahasiswa kemudian diminta menuliskan hasil pengamatan mereka dalam bentuk buku
kecil yang dicetak secara sederhana, serta diminta untuk mempresentasikannya
dalam sebuah “case conference”.
Di
samping saya, hadir pula dua orang tunanetra lain yang juga diminta menjadi
narasumber, yaitu mahasiswa jurusan PLB yang sedang menyusun skripsi,
serta seorang tunanetra ibu rumah tangga dan memiliki 4 orang anak,tiga
di antaranya juga tunanetra.
Bagi
saya, undangan menghadiri pertemuan semacam ini saya anggap sangat
penting. Mahasiswa jurusan PLB kela akan menjadi salah satu ujung tombak
pendidikan anak-anak tunanetra di negeri ini. Mereka perlu memiliki persepsi
dan keyakinan yang benar tentang bagaimana pendidikan anak-anak tunanetra
dan disabilitas pada umumnya. Persepsi dan keyakinan yang benar ini akan
mempengaruhi cara pikir, sikap dan perilaku mereka saat menjadi guru kelak.
Telah
sering saya menerima informasi secara lisan dari teman-teman
tunanetra, bahwa sebagian guru-guru SLB melarang anak-anak tunanetra
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi ke sekolah reguler –sekolah umum
bukan SLB. Berbagai alasan mereka kemukakan, berbagai cara pun mereka lakukan,
dengan satu tujuan agar anak-anak tunanetra tetap tinggal dan bersekolah di SLB
hingga menyelesaikan pendidikan 12 tahun. Padahal anak-anak tunanetra tersebut
tidak memiliki hambatan kecerdasan, yang semestinya dapat melanjutkan pendidikan
lebih tinggi ke sekolah reguler setelah menyelesaikan sekolah dasar di SLB.
Yang sebenarnya terjadi adalah guru-guru SLB tersebut khawatir kehilangan
murid, jika anak-anak tunanetra melanjutkan pendidikan ke sekolah reguler.
Saat
menerima undangan dari Sang Dosen, saya sudah merencanakan bahwa saya
harus mengatakan sesuatu pada calon-calon guru ini. Suatu keyakinan yang telah
dibuktikan secara nyata oleh tunanetra di dunia ini, yang saat ini
telah berkiprah di masyarakat. Keyakinan yang telah dibangun menjadi sebua
gerakan berskala global untuk membawa dan terus membawa lebih banyak anak-anak
tunanetra bersekolah ke sekolah reguler, yang disebut “pendidikan
inklusif”.
“Jika
anak-anak tunanetra tak memiliki hambatan kecerdasan, tempat belajar terbaik
untuk mereka adalah di sekolah reguler bersama anak-anak yang tidak
tunanetra”. Kalimat itu saya katakan beberapa kali sepanjang saya menjalankan
tugas sebagai nara sumber. “Saya adalah produk dari keyakinan tersebut”,
kalimat itu saya nyatakan untuk lebih meyakinkan mereka. Saya pun menceritakan
kelebihan apa yang saya dapatkan saat saya menempuh pendidikan di sekolah
reguler, hingga saya menjadi sosok mandiri dan dapat berkarya di masyarakat
seperti sekarang. Di antaranya, belajar bersosialisasi dengan mereka yang tidak
menyandang disabilitas; menumbuhkan semangat bersaing yang sehat karena
jumlah siswa di sekolah reguler jauh lebih banyak dibanding jumlah siswa di
SLB; pengalaman-pengalaman berharga dalam bentuk bermain dan bekerja sama
dengan teman-teman yang tidak tunanetra yang tidak akan saya dapatkan
dengan begitu maksimal jika saya menempuh pendidikan di SLB; dan sebagainya.
Saya
juga mengajak para mahasiswa agar membangun persepsi yang benar tentang
“disabilitas”. Mulai dari penggunaan istilah, agar tidak lagi
menggunakan kata “penyandang cacat” yang berkonotasi sangat
negatif. Hingga ajakan untuk memaknai disabilitas sebagai bagian
dari perbedaan, dan apa alasan di balik itu semua. “Perbedaan karena disabilitas
berdampak pada munculnya kebutuhan khusus, dan kebutuhan khusus itu harus
dipenuhi oleh lingkungan, termasuk kebutuhan khusus di bidang
pendidikan”.
“Menjadi
tunanetra itu bukan pilihan. Menjadi tunanetra adalah fakta yang harus diterima
dan dijalani. “Tunanetra tidak akan terhambat dalam menjalani kehidupan
sehari-hari jika lingkungan memberikan dukungan positif”. “Dukungan diberikan
dalam bentuk pemenuhan kebutuhan khusus mereka”.
Menjadi
tugas Pemerintah untuk membangun kebijakan yang mengakomodasikan
pemenuhan kebutuhan khusus warga negara penyandang disabilitas. Dorongan
agar pemerintah membangun kebijakan dalam pemenuhan kebutuhan
khusus warga negara penyandang disabilitas saat ini dilakukan
antara lain dalam bentuk mendorong proses legislasi pengesahan rancangan
undang –undang disabilitas baru, menggantikan undang-undang yang saat ini ada –
Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 – yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan
jaman. Tahun lalu, pada sidang paripurna terakhir masa sidang
Oktober-Desember 2014, Ketua DPR telah menyatakan bahwa pembahasan RUU
disabilitas akan menjadi prioritas tahun ini.
Aria Indrawati.
Ketua Umum Pertuni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar