Oleh Harun Husein. Republika, Rabu, 08 April 2009
Golongan putih (golput) bukanlah isu populer bagi kalangan penyandang cacat (penca), terutama aktivis penca. Bukan karena golput telah diharamkan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MU), tapi karena mereka justru berjuang keras mendapatkan persamaan hak dan kesetaraan perlakuan dalam pemilihan umum (pemilu).
''Kalau kami golput, sia-sialah apa yang telah kami usahakan supaya tak ada lagi diskriminasi terhadap teman-teman penca dalam pemilu,'' kata Ketua Umum
Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA) Penca, Ariani Abdul Mun'im, kepada Republika di Kantor PPUA Penca, Cempaka Putih, Jakarta, pekan lalu.
Kuatnya keinginan menyingkirkan diskriminasi itu bahkan pernah diekspresikan penca di Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan menjadi golput secara massal pada
Pemilu Presiden (Pilpres) 2004. Mereka membakar kartu pemilih karena KPUD Sulsel tak menyediakan alat bantu template di tempat pemungutan suara (TPS).
Mereka pun memperkarakan KPUD Sulsel ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Pasalnya, Sulsel termasuk satu dari delapan provinsi yang mendapat bantuan
template dari UNDP. Tapi, template itu justru tak didistribusikan ke TPS-TPS. Panwaslu kemudian memproses kasus itu sebagai pelanggaran pidana pemilu.
Ketua KPUD Sulsel, Aidir Amin Daud--yang kini menjadi Direktur Tata Negara Depkumham sempat menjadi tersangka. Tapi, ''Perkara dicabut setelah dia mendatangi
teman-teman penca, minta maaf, dan berjanji menyediakan template pada Pilpres putaran kedua,'' kata anggota Komnas HAM, Saharuddin Daming, pekan lalu.
Pada Pilpres putaran kedua, template tersedia, tapi hanya di sebagian. Sebagian template kembali tertahan di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Tapi,
kali ini aksi bakar kartu pemilih tak terjadi lagi. Sebagian golput, sebagian lagi tetap menggunakan hak pilih dibantu pendamping. KPUD pun kembali hendak
diperkarakan.
Tapi, Saharuddin yang saat itu menjadi penasihat hukum penca di Makassar, mencegah rencana itu. ''Saya bilang, biar dulu. Yang penting sudah ada political
will ,'' kata Saharuddin, tunanetra pertama di Indonesia penyandang gelar doktor hukum, dengan disertasi tentang aksesibilitas penca sejak Pemilu 1955
hingga Pemilu 2004.
Kasus Sulsel dinilai Saharuddin memperlihatkan persoalan yang sangat perlu dibenahi pada masa mendatang. ''Ternyata yang paling perlu mendapatkan pengarahan
itu adalah penyelenggara pemilu, bukan teman-teman penca. Selama ini, untuk urusan pemilu akses, teman-teman penca yang selalu disuruh mendengar.''
Sebenarnya, kalangan penca tidak menuntut diistimewakan. Mereka hanya menuntut treatment khusus agar bisa melaksanakan hak pilihnya sesuai asas pemilu
yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber). Ariani menuturkan, pada masa lalu, tunanetra yang datang ke TPS sering dicurangi oleh petugas TPS. ''Petugas
selalu bilang, 'mau pilih partai apa, nanti kami cobloskan','' katanya. Pemilih tunadaksa yang berkursi roda, juga terkadang harus memilih di luar TPS
karena tak bisa memasuki TPS yang sulit dicapai kursi roda.
Advokasi atas hak-hak politik penca dalam pemilu--baik hak memilih maupun hak dipilih mulai intensif sejak terbentuknya Panitia Pemilu Akses Penyadang
Cacat (PPUA Penca) pada 24 April 2002. Isu "pemilu akses" pun mengemuka. Mereka mendesak supaya aturan perundangan dan perangkat TPS aksesibel bagi penca.
Pada Pemilu 2004, upaya itu, antara lain, terakomodasi lewat pengadaan template untuk pilpres dan pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan
(P4B). Menjelang Pemilu 2009--saat PPUA berubah dari panitia menjadi pusat--lobi mereka berhasil menggolkan pengadaan template dan TPS yang aksesibel.
Selain itu, UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif membuka peluang lebih banyak caleg penca karena sekolah luar biasa disetarakan dengan SMA dalam syarat
pendidikan caleg. Itulah yang, antara lain, membuat caleg penca pada Pemilu 2009 ini naik drastis, dari lima pada Pemilu 2004 menjadi 30 pada Pemilu 2009
ini.
TPS yang aksesibel antara lain ditandai dengan adanya aturan bahwa TPS harus didirikan di tempat rata tidak berumput tebal, tidak ada got pemisah, tidak
becek, tidak berlumpur, tidak berada di gedung bertangga sehingga tak menyulitkan pengguna kursi roda. Pintu-pintu TPS dan bilik suara juga lebih diperlebar.
''Kami cuma menghendaki desain TPS yang universal. Filosofinya, kalau nyaman bagi penca, pasti nyaman bagi orang normal,'' kata Ariani. Apalagi, kata dia,
TPS yang diminta oleh kalangan penca juga sangat menguntungkan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya seperti ibu hamil, orang lanjut usia (lansia), dan
orang sakit.
Kastiani, penyandang tunadaksa yang juga Sekretaris I PPUA Penca, menegaskan, tuntutan persamaan bukanlah menuntut hak yang eksklusif. ''Kami tidak perlu
TPS khusus. Tuntutan kami itu sama saja dengan orang berkacamata minus empat, yang tidak bisa memilih kalau tidak menggunakan kacamata,'' katanya.
Kastiani menegaskan, penca terutama tunadaksatak perlu bantuan di bilik suara. Yang terpenting, bilik suara dibuat aksesibel agar mereka bisa masuk. ''Kalau
tak bisa memilih pakai tangan, ya pakai kaki. Kalau tidak bisa pakai kaki, ya pakai mulut.''Wakil Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra, Irwan Dwi Kustanto,
menilai kesulitan aksesibilitas itu membuat banyak penca yang akhirnya menjadi golput. ''Asumsi saya begitu. Karena, bagi seorang penca, untuk memilih
dia harus berkorban banyak sekali. Mulai dari tenaga, waktu, biaya, hingga harga diri,'' katanya.
Jumlah pemilih penca pada Pemilu 2009 ini, menurut anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sjamsulbahri, sekitar 3,6 juta. Pada Pemilu 2004, Badan Pusat Statistik
(BPS) menyampaikan ke KPU jumlah sebagai berikut: 309.146 tunanetra, 192.207 tunarungu, 178.870 tunagrahita, dan 94.423 cacat lain.
Tapi, bila mengacu pada asumsi Badan Kesehatan Dunia (WHO), 10 persen penduduk setiap negara adalah penca. Alhasil, dari 220 juta rakyat Indonesia, 22
juta adalah penca. ''Sebanyak 60 persen atau 12 juta punya hak,'' kata Ariani.Departemen Sosial (Depsos) memprediksi jumlah penca mencapai 3,11 persen
dari total penduduk Indonesia atau sekitar enam juta jiwa, dengan 3,6 juta di antaranya diprediksi memiliki hak untuk memilih.
Soal data yang simpang-siur ini, Saharuddin Daming mengatakan, karena beda kualifikasi. ''Depsos mengkualifikasikan cacat itu pada yang mengalami tingkat
hambatan, sedangkan WHO semuanya,'' katanya.Tapi, apakah itu berarti jumlah golput di kalangan penca besar? Saharuddin masih meragukan. Pasalnya, pada
pemilu-pemilu Orde Baru, mereka banyak dimobilisasi. ''Terlepas apakah itu karena mobilisasi atau partisipasi, tapi siapa sih yang tidak dimobilisasi
saat itu,'' katanya.Dengan jumlah penca sekitar 12 juta orang, Irwan mengatakan, sudah bisa dikonversi menjadi sekitar 10 kursi DPR. ''Ini bargaining
yang besar,'' katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar