Bapak YOS SUDARSO USMAN PUTRA
HRD Regional Manager
Australian Development Scholarships – Indonesia
Menginformasikan bahwa saat ini pendaftaran beasiswa Australian Development Scholarships (ADS) telah dibuka dan akan ditutup pada tanggal 17 Agustus 2012.
ADS terbuka bagi siapa saja dan untuk seluruh warga negara Indonesia. Ada 5 provinsi yang difokuskan oleh AusAID dan Pemerintah Indonesia, yang disebut dengan Geographic Focus Areas: Aceh, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat.
Selain ke 5 provinsi tersebut, ADS juga memberikan prioritas bagi pelamar yang berkebutuhan khusus atau mereka yang bekerja untuk dan dengan para penyandang disabilitas.
4 syarat utama melamar ADS:
1. Umur maksimal 42 tahun
2. IPK minimal 2.9. Bagi pelamar dari 5 provinsi diatas dan penyandang disabilitas, IPK minimal adalah 2.75. Informasi lengkap ada di form ADS.
3. Nilai TOEFL ITP minimal 500/IELTS minimal 5.0. Nilai tersebut harus diperoleh pada tahun 2011 atau 2012.
4. Mengisi form dan melengkapi bahan administrasi.
Syarat tambahan (berlaku mulai lamaran tahun ini, penjelasannya juga ada di form ADS pada halaman 2 dibagian Eligibility):
5. Bagi yang sudah pernah mendapatkan ijazah luar negeri selain dari Australia harus tinggal di Indonesia dahulu minimal 2 tahun dari masa kepulangan studinya sebelum melamar ADS.
6. Bagi penerima beasiswa AusAID yang ingin melamar ADS, harus tinggal di Indonesia selama 2 X masa studi yang bersangkutan di Australia sebelum melamar ADS.
Contoh: jika sebelumnya yang bersangkutan mengambil Master di Australia selama 2 tahun, maka dia harus tinggal di Indonesia dulu selama 2 x 2 tahun = 4 tahun dari masa kembali studi dari Australia.
Untuk mendapatkan application form, silakan download
IADS Application
Aplikasi dikirim ke:
Australian Development Scholarships - Indonesia
Wirausaha Building 7th Floor,
JL H.R. Rasuna Said Kav.C-5, Kuningan, Jakarta 12940, Indonesia
Blog ini memuat berita-berita tentang tunanetra atau yang terkait dengan ketunanetraan dan Pertuni.
Senin, 26 Maret 2012
Minggu, 25 Maret 2012
Pertemuan DPP Pertuni dengan Mendikbud tanggal 21 Maret 2012
Pada tanggal 21 Maret 2012 Dewan Pengurus Pusat Pertuni telah beraudiensi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di kantor Kemendikbud, Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut DPP Pertuni menyampaikan hal-hal berikut:
1. Pertuni menghargai langkah kementerian pendidikan mengeluarkan Permen nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif. Permen tersebut diharapkan dapat menjadi petunjuk teknis dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia.
2. Namun demikian, Pertuni memandang ada tiga pilar penting dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yang saat ini perlu mendapatkan perhatian, karena belum dilaksanakan secara optimal, yaitu:
- Perihal guru pembimbing khusus (GPK).
Hingga kini guru pembimbing khusus di sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif hanya merupakan tugas tambahan dari guru-guru SLB. Ini berakibat tugas tersebut belum dilaksanakan secara optimal, dan ABK di sekolah umum tidak terlayani dengan baik.
Dalam pasal 10 Permen Diknas nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif dinyatakan:
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus.
Namun, Dalam beberapa pasal dalam Permen PAN nomor 16 tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, terdapat ketentuan yang menurut Pertuni tidak selaras dengan Permen Diknas nomor 70 tersebut di atas. Pasal 3 Permen PAN menyebutkan bahwa:
Jenis Guru berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya meliputi: Guru Kelas, Guru Mata Pelajaran; dan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor; - tidak menyebut secara eksplisit “guru pembimbing khusus GPK”
Sedangkan Dalam pasal 13 ayat (4) huruf F dinyatakan bahwa salah satu tugas tambahan guru kelas atau guru mata pelajaran atau guru bimbingan dan konseling adalah menjadi pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi; berarti menjadi GPK hanyalah tugas tambahan.
Mencermati situasi ini, Pertuni menyampaikan kiranya perlu dilakukan penyelarasan antara kedua Permen tersebut di atas. Keberadaan guru pembimbing khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sangat fital, guna memungkinkan ABK – termasuk anak/siswa tunanetra dapat belajar dengan optimal, dan mendapatkan pendidikan berkualitas.
- Tentang pusat sumber.
- Pilar penting lain dalam menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif adalah keberadaan ”pusat sumber” yang menyediakan sarana pendukung pendidikan inklusif yang dibutuhkan ABK, termasuk anak tunanetra. Selama ini, fungsi pusat sumber ditugaskan ke SLB negeri yang berada di wilayah di mana sekolah penyelenggara pendidikan inklusif berada. Namun demikian, Pertuni mencermati fungsi pusat sumber ini belum berjalan optimal. Sementara, fasilitas khusus penunjang kemandirian pendidikan ABK mutlak diperlukan. Misalnya, ketersediaan buku Braille atau buku audio digital bagi siswa tunanetra.
Di samping fakta tersebut di atas, Pertuni juga mengamati adanya inisyatif masyarakat /organisasi non pemerintah yang bukan SLB / yang menjalankan fungsi sebagai pusat sumber dengan melayani siswa tunanetra yang menempuh pendidikan secara inklusif. Namun karena lembaga ini bukan SLB, lembaga tersebut tak mungkin mendapatkan subsidi pemerintah – karena tak ada di nomenklatur anggaran.
- Penunjukan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
Pasal 4 Permen Diknas nomor 70 menyatakan:
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Langkah penunjukan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ini pada dasarnya merupakan “afirmative action” untuk merintis penyelenggaraan pendidikan inklusif. Ini berarti, sekolah yang tidak ditunjuk tidak diperbolehkan “menolak” menerima ABK. – semangat pendidikan inklusif adalah setiap siswa dapat bersekolah di sekolah yang terdekat dengan rumah tempat tinggal siswa tersebut.
3. Tentang akses tunanetra ke pendidikan tinggi.
Pertuni menjelaskan kegiatan kampanye akses tunanetra ke pendidikan tinggi yang dilaksanakan sepanjang lima tahun terakhir, yang disponsori oleh ICEVI dan The Nippon Foundation TNF. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:
- Memilih beberapa perguruan tinggi menjadi model kampus yang ramah pada tunanetra, dengan merintis terselenggaranya pusat layanan untuk mahasiswa tunanetra berbasis teknologi. Beberapa universitas tersebut adalah: Universitas Pendidikan Indonesia UPI, Universitas egeri Jakarta UNJ, Universitas Negeri Surabaya UNESA. Pada saat bersamaan, Pertuni juga memberikan dukungan pada perguruan tinggi yang dengan inisyatif sendiri membangun kampus mereka menjadi lembaga pendidikan yang ramah pada tunanetra, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta dan Universitas Indonesia.
- Menyelenggarakan pelatihan memasuki perguruan tinggi untuk siswa SMA di beberapa kota yaitu Payakumbuh, Medan, Makasar, Surabaya dan Yogyakarta. Pelatihan ini lebih menitikberatkan pada kapasitas soft skill siswa tunanetra, agar mereka dapat menyiapkan diri memasuki perguruan tinggi, termasuk memilih jurusan yang sesuai, dan kelak jika mereka menjadi mahasiswa dapat lebih siap menjalani kehidupan pendidikan tinggi.
- Upaya Pertuni tersebut masih merupakan rintisan, dan masih diperlukan pengembangan-pengembangan selanjutnya. Di samping itu, upaya mengkampanyekan kampus yang ramah pada tunanetra akan terus dilaksanakan, yaitu dengan mengajak perguruan tinggi yang Pertuni pilih sebagai model menjadi mentor untuk perguruan tinggi lainnya. Untuk keberhasilan semua upaya ini, Pertuni mengharapkan dukungan dari Kemendikbud khususnya Dirjen Pendidikan Tinggi.
1. Layanan low vision
Pertuni saat ini juga menyelenggarakan layanan low vision dengan mengelola dua unit layanan yaitu di Jakarta – yang melingkupi sebagian propinsi Jawa Barat dan banten - serta di Jogjakarta, yang melingkupi juga propinsi Jawa Tengah. Layanan ini juga menjangkau murid-murid di sekolah luar biasa dan sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif. Agar layanan ini dapat berkesinambungan dan melingkupi wilayah lebih luas, Pertuni mengharapkan dukungan dari Kemendikbud.
2. Bea Siswa untuk anak dari keluarga tunanetra.
Di tahun 2011, Pertuni telah menjadi partner Kemendikbud dalam penyaluran bea siswa untuk anak dari keluarga tunanetra. Sesuai ketentuan kemendikbud, Bantuan dana pendidikan ini disalurkan kepada masing-masing yang membutuhkan melalui rekening sekolah. Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan kegiatan ini adalah ada beberapa pihak sekolah yang takut / tidak mau menginformasikan rekening sekolah, sehingga Pertuni kesulitan dalam penyaluran bea siswa ini. Di samping itu, di tahun 2012 ini kegiatan tersebut tidak lagi diagendakan, padahal Pertuni mencermati bantuan dana ini sangat berguna bagi keluarga tunanetra yang karena keterbatasan pendidikan mereka, penghasilannya pun terbatas. Untuk itu, Pertuni mengusulkan agar kegiatan ini kembali diagendakan, dan dimasukkan melalui perubahan APBN 2012.
Respond Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas hal-hal yang disampaikan Pertuni:
1. Guru Pembimbing Khusus akan diurus dengan lebih baik.
2. Fungsi Pusat sumber akan lebih dioptimalkan. Di tahun ini, dana lebih besar dikucurkan untuk pendidikan khusus dan layanan khusus antara lain melalui block grant.
3. Bantuan bea siswa anak keluarga tunanetra akan dilanjutkan. Untuk itu Kemendikbud meminta Pertuni segera menyampaikan data.
4. Akses tunanetra ke perguruan tinggi akan didukung. Target menteri adalah minimal satu propinsi memiliki satu perguruan tinggi yang dikembangkan menjadi universitas yang ramah pada tunanetra dan disabilitas lain – kampus yang inklusif.
5. Akan ada perjanjian kerja sama antara Kemendikbud dan Pertuni sebagai ”payung” untuk melaksanakan pelbagai kegiatan bersama-sama. Draft perjanjian akan disiapkan oleh kemendikbud. Penandatanganan perjanjian ini akan dilaksanakan dalam rangka peringatan hardiknas 2012.
Dalam pertemuan tersebut DPP Pertuni menyampaikan hal-hal berikut:
1. Pertuni menghargai langkah kementerian pendidikan mengeluarkan Permen nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif. Permen tersebut diharapkan dapat menjadi petunjuk teknis dalam pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia.
2. Namun demikian, Pertuni memandang ada tiga pilar penting dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yang saat ini perlu mendapatkan perhatian, karena belum dilaksanakan secara optimal, yaitu:
- Perihal guru pembimbing khusus (GPK).
Hingga kini guru pembimbing khusus di sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif hanya merupakan tugas tambahan dari guru-guru SLB. Ini berakibat tugas tersebut belum dilaksanakan secara optimal, dan ABK di sekolah umum tidak terlayani dengan baik.
Dalam pasal 10 Permen Diknas nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif dinyatakan:
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus.
Namun, Dalam beberapa pasal dalam Permen PAN nomor 16 tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, terdapat ketentuan yang menurut Pertuni tidak selaras dengan Permen Diknas nomor 70 tersebut di atas. Pasal 3 Permen PAN menyebutkan bahwa:
Jenis Guru berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya meliputi: Guru Kelas, Guru Mata Pelajaran; dan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor; - tidak menyebut secara eksplisit “guru pembimbing khusus GPK”
Sedangkan Dalam pasal 13 ayat (4) huruf F dinyatakan bahwa salah satu tugas tambahan guru kelas atau guru mata pelajaran atau guru bimbingan dan konseling adalah menjadi pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi; berarti menjadi GPK hanyalah tugas tambahan.
Mencermati situasi ini, Pertuni menyampaikan kiranya perlu dilakukan penyelarasan antara kedua Permen tersebut di atas. Keberadaan guru pembimbing khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sangat fital, guna memungkinkan ABK – termasuk anak/siswa tunanetra dapat belajar dengan optimal, dan mendapatkan pendidikan berkualitas.
- Tentang pusat sumber.
- Pilar penting lain dalam menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif adalah keberadaan ”pusat sumber” yang menyediakan sarana pendukung pendidikan inklusif yang dibutuhkan ABK, termasuk anak tunanetra. Selama ini, fungsi pusat sumber ditugaskan ke SLB negeri yang berada di wilayah di mana sekolah penyelenggara pendidikan inklusif berada. Namun demikian, Pertuni mencermati fungsi pusat sumber ini belum berjalan optimal. Sementara, fasilitas khusus penunjang kemandirian pendidikan ABK mutlak diperlukan. Misalnya, ketersediaan buku Braille atau buku audio digital bagi siswa tunanetra.
Di samping fakta tersebut di atas, Pertuni juga mengamati adanya inisyatif masyarakat /organisasi non pemerintah yang bukan SLB / yang menjalankan fungsi sebagai pusat sumber dengan melayani siswa tunanetra yang menempuh pendidikan secara inklusif. Namun karena lembaga ini bukan SLB, lembaga tersebut tak mungkin mendapatkan subsidi pemerintah – karena tak ada di nomenklatur anggaran.
- Penunjukan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
Pasal 4 Permen Diknas nomor 70 menyatakan:
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Langkah penunjukan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ini pada dasarnya merupakan “afirmative action” untuk merintis penyelenggaraan pendidikan inklusif. Ini berarti, sekolah yang tidak ditunjuk tidak diperbolehkan “menolak” menerima ABK. – semangat pendidikan inklusif adalah setiap siswa dapat bersekolah di sekolah yang terdekat dengan rumah tempat tinggal siswa tersebut.
3. Tentang akses tunanetra ke pendidikan tinggi.
Pertuni menjelaskan kegiatan kampanye akses tunanetra ke pendidikan tinggi yang dilaksanakan sepanjang lima tahun terakhir, yang disponsori oleh ICEVI dan The Nippon Foundation TNF. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:
- Memilih beberapa perguruan tinggi menjadi model kampus yang ramah pada tunanetra, dengan merintis terselenggaranya pusat layanan untuk mahasiswa tunanetra berbasis teknologi. Beberapa universitas tersebut adalah: Universitas Pendidikan Indonesia UPI, Universitas egeri Jakarta UNJ, Universitas Negeri Surabaya UNESA. Pada saat bersamaan, Pertuni juga memberikan dukungan pada perguruan tinggi yang dengan inisyatif sendiri membangun kampus mereka menjadi lembaga pendidikan yang ramah pada tunanetra, yaitu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta dan Universitas Indonesia.
- Menyelenggarakan pelatihan memasuki perguruan tinggi untuk siswa SMA di beberapa kota yaitu Payakumbuh, Medan, Makasar, Surabaya dan Yogyakarta. Pelatihan ini lebih menitikberatkan pada kapasitas soft skill siswa tunanetra, agar mereka dapat menyiapkan diri memasuki perguruan tinggi, termasuk memilih jurusan yang sesuai, dan kelak jika mereka menjadi mahasiswa dapat lebih siap menjalani kehidupan pendidikan tinggi.
- Upaya Pertuni tersebut masih merupakan rintisan, dan masih diperlukan pengembangan-pengembangan selanjutnya. Di samping itu, upaya mengkampanyekan kampus yang ramah pada tunanetra akan terus dilaksanakan, yaitu dengan mengajak perguruan tinggi yang Pertuni pilih sebagai model menjadi mentor untuk perguruan tinggi lainnya. Untuk keberhasilan semua upaya ini, Pertuni mengharapkan dukungan dari Kemendikbud khususnya Dirjen Pendidikan Tinggi.
1. Layanan low vision
Pertuni saat ini juga menyelenggarakan layanan low vision dengan mengelola dua unit layanan yaitu di Jakarta – yang melingkupi sebagian propinsi Jawa Barat dan banten - serta di Jogjakarta, yang melingkupi juga propinsi Jawa Tengah. Layanan ini juga menjangkau murid-murid di sekolah luar biasa dan sekolah umum penyelenggara pendidikan inklusif. Agar layanan ini dapat berkesinambungan dan melingkupi wilayah lebih luas, Pertuni mengharapkan dukungan dari Kemendikbud.
2. Bea Siswa untuk anak dari keluarga tunanetra.
Di tahun 2011, Pertuni telah menjadi partner Kemendikbud dalam penyaluran bea siswa untuk anak dari keluarga tunanetra. Sesuai ketentuan kemendikbud, Bantuan dana pendidikan ini disalurkan kepada masing-masing yang membutuhkan melalui rekening sekolah. Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan kegiatan ini adalah ada beberapa pihak sekolah yang takut / tidak mau menginformasikan rekening sekolah, sehingga Pertuni kesulitan dalam penyaluran bea siswa ini. Di samping itu, di tahun 2012 ini kegiatan tersebut tidak lagi diagendakan, padahal Pertuni mencermati bantuan dana ini sangat berguna bagi keluarga tunanetra yang karena keterbatasan pendidikan mereka, penghasilannya pun terbatas. Untuk itu, Pertuni mengusulkan agar kegiatan ini kembali diagendakan, dan dimasukkan melalui perubahan APBN 2012.
Respond Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atas hal-hal yang disampaikan Pertuni:
1. Guru Pembimbing Khusus akan diurus dengan lebih baik.
2. Fungsi Pusat sumber akan lebih dioptimalkan. Di tahun ini, dana lebih besar dikucurkan untuk pendidikan khusus dan layanan khusus antara lain melalui block grant.
3. Bantuan bea siswa anak keluarga tunanetra akan dilanjutkan. Untuk itu Kemendikbud meminta Pertuni segera menyampaikan data.
4. Akses tunanetra ke perguruan tinggi akan didukung. Target menteri adalah minimal satu propinsi memiliki satu perguruan tinggi yang dikembangkan menjadi universitas yang ramah pada tunanetra dan disabilitas lain – kampus yang inklusif.
5. Akan ada perjanjian kerja sama antara Kemendikbud dan Pertuni sebagai ”payung” untuk melaksanakan pelbagai kegiatan bersama-sama. Draft perjanjian akan disiapkan oleh kemendikbud. Penandatanganan perjanjian ini akan dilaksanakan dalam rangka peringatan hardiknas 2012.
Jumat, 23 Maret 2012
Penyandang Tunanetra Dikukuhkan sebagai Anggota DTKJ - KOMPAS.com
JAKARTA, KOMPAS.com — Selasa (20/3/2012) ini, sebanyak 15 orang dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sebagai anggota Dewan Transportasi Kota
Jakarta (DTKJ) untuk periode 2012-2013.
Salah satu dari yang dikukuhkan kali ini ternyata adalah penyandang tunanetra bernama Jaka Anom Ahmad Yusuf.
Jaka merupakan anggota Dewan Pengurus Wilayah (DPW) DKI Jakarta Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni).
Ia memutuskan mendaftarkan diri sebagai anggota DTKJ untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas pada bidang transportasi di Jakarta.
"Ada dua agenda yang dititipkan oleh Pertuni kepada saya yang menjadi anggota di DTKJ ini," kata Jaka, ketika dijumpai seusai Pengukuhan Anggota DTKJ 2012-2013,
di Balaikota, Jakarta, Selasa (20/3/2012).
Tujuan pertamanya adalah untuk memunculkan sensitivitas teman-teman DTKJ agar mulai memberikan bahan pertimbangan dan memikirkan alat transportasi yang
ramah bagi penyandang disabilitas.
"Jadi walaupun anggota-anggota yang lain bukan penyandang disabilitas. Tapi pikirannya sudah ke situ," jelas Jaka.
Tujuan kedua adalah proaktif untuk memberikan saran agar transportasi di Jakarta mudah diakses oleh para penyandang disabilitas baik itu tunanetra, tunarungu,
tunadaksa, tunawicara, dan tunagrahita atau cacat mental.
"Sampai saat ini, kan, transportasi di Jakarta ini tidak melayani semua penyandang disabilitas. Mau banyak atau tidak, seharusnya transportasi umum dilengkapi
bagi para penyandang disabilitas," tandasnya.
Tugas utama dari DTKJ sendiri adalah menampung aspirasi masyarakat dan memberikan bahan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan pemerintah daerah di
bidang transportasi.
Kemudian menyampaikan rekomendasi atas aspirasi masyarakat tersebut kepada pemerintah daerah agar dilakukan evaluasi dan perbaikan.
Jakarta (DTKJ) untuk periode 2012-2013.
Salah satu dari yang dikukuhkan kali ini ternyata adalah penyandang tunanetra bernama Jaka Anom Ahmad Yusuf.
Jaka merupakan anggota Dewan Pengurus Wilayah (DPW) DKI Jakarta Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni).
Ia memutuskan mendaftarkan diri sebagai anggota DTKJ untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas pada bidang transportasi di Jakarta.
"Ada dua agenda yang dititipkan oleh Pertuni kepada saya yang menjadi anggota di DTKJ ini," kata Jaka, ketika dijumpai seusai Pengukuhan Anggota DTKJ 2012-2013,
di Balaikota, Jakarta, Selasa (20/3/2012).
Tujuan pertamanya adalah untuk memunculkan sensitivitas teman-teman DTKJ agar mulai memberikan bahan pertimbangan dan memikirkan alat transportasi yang
ramah bagi penyandang disabilitas.
"Jadi walaupun anggota-anggota yang lain bukan penyandang disabilitas. Tapi pikirannya sudah ke situ," jelas Jaka.
Tujuan kedua adalah proaktif untuk memberikan saran agar transportasi di Jakarta mudah diakses oleh para penyandang disabilitas baik itu tunanetra, tunarungu,
tunadaksa, tunawicara, dan tunagrahita atau cacat mental.
"Sampai saat ini, kan, transportasi di Jakarta ini tidak melayani semua penyandang disabilitas. Mau banyak atau tidak, seharusnya transportasi umum dilengkapi
bagi para penyandang disabilitas," tandasnya.
Tugas utama dari DTKJ sendiri adalah menampung aspirasi masyarakat dan memberikan bahan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan pemerintah daerah di
bidang transportasi.
Kemudian menyampaikan rekomendasi atas aspirasi masyarakat tersebut kepada pemerintah daerah agar dilakukan evaluasi dan perbaikan.
Langganan:
Postingan (Atom)