Oleh: Inggried Dwi Wedhaswary, Kompas.com, Kamis, 5 Maret 2009 | 07:59 WIB
Hak memilih menjadi hak semua warga negara tanpa kecuali, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, seperti tunanetra. Kini meski belum sepenuhnya terfasilitasi, pemilih tunanetra bisa menggunakan hak pilihnya secara mandiri. Sebuah alat bantu saat pemungutan suara telah tersedia.
Irwan Dwi Kustanto (43), seorang tunanetra, menjadi desainer yang ada di balik terciptanya alat bantu itu. Mata boleh tak melihat, tapi hati telah menggerakkannya untuk bekerja demi kesempatan politik bagi sesamanya.
Alat bantu pemilu tunanetra itu berupa template berhuruf braille yang memiliki ukuran sama persis seperti surat suara yang akan digunakan saat pemungutan suara. "Ukurannya benar-benar sama dengan surat suara. Surat suara itu dimasukkan ke template, seperti map yang di atasnya ada huruf braille," kata Irwan saat ditemui Kompas.com pekan lalu.
Ukuran template harus benar-benar sama dengan surat suara sehingga apa yang dibaca tunanetra pada template tersebut merupakan yang terdapat di surat suara. Pada Pemilu 2009 ini alat bantu pemilu sudah tersedia di 33 provinsi. "Namun, dari empat surat suara, baru pemilihan DPD dan presiden saja. Untuk DPR dan DPRD belum. Mungkin karena peserta dan calegnya banyak sehingga lebih kompleks," ujar Irwan yang juga menjabat Vice Executive Director Yayasan Mitra Netra.
Irwan pun mengisahkan bagaimana ide mendesain alat bantu itu muncul. Sebenarnya Irwan juga mendesain alat bantu untuk Pilpres 2004 yang saat itu hanya tersedia di delapan provinsi. Pada tahun ini Panitia Pemilu Akses Penyandang cacat (PPUA Penca) kembali meminta Mitra Netra untuk mendesain alat bantu pemilu.
"Dari pilot tahun 2004, pada pemilu tahun ini alat bantu sudah masuk dalam peraturan KPU yang harus ada, bukan pilot project lagi. Hak ini harus ada, kemudian PPUA meminta saya untuk mendesainkan," ujar Irwan.
Irwan bersama delapan rekannya di Mitra Netra dan tim PPUA yang berjumlah 20 orang akan melakukan validasi sebelum dan sesudah dicetak. Hal itu untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam pencetakan. Sebab, cetakan huruf braille harus pas ukurannya.
"Kalau sudah oke baru bisa dikirim (ke seluruh Indonesia). Yang paling penting timbulnya braille harus bisa dibaca. Jangan terlalu tipis atau terlalu tebal. Bagaimana teman-teman bisa meraba karena membaca huruf braille tergantung yang dipegang jari," ujar ayah tiga putri ini.
Sebagai sosok yang dikenal sangat mendalami braille, Irwan juga menguasai penggunaan peranti lunak (software) yang memungkinkannya merancang alat bantu pemilu. Mitra Netra Braille Converter yang diciptakan oleh lembaga yang peduli pada hak-hak tunanetra itu menjadi sistem tumpuan.
Keterbatasan penglihatan tak ingin dipandang Irwan dan rekan-rekannya sebagai sebuah hambatan. Apalagi, menurut Irwan, dalam penggunaan hak pilih kerahasiaan harus menjadi hak semua warga negara, termasuk tunanetra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar