Masih Ada Asa Dalam Gelap
Oleh Chrysanova Prashelly Dewi
Salam kenal untuk rekan-rekan pembaca semua, perkenalkan nama saya Chrysanova. Saya ingin bercerita sedikit tentang diri saya. Barangkali pengalaman saya ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan semua khususnya para tunanetra baru. Saya harap tulisan ini sedikit banyak dapat memotivasi saudara-saudara penyandang disabilitas terutama para tunanetra bahwa dunia ini luas. Selalu ada jalan untuk meraih tujuan kita dengan mengoptimalkan kreativitas yang diberikan Yang Mahakuasa kepada kita. Jangan merasa diri tidak berguna. Perasaan seperti itu adalah penyakit yang paling fatal melebihi penyakit apapun yang menyerang tubuh kita. Sayang kan kalau kita tidak melakukan apa-apa hanya karena penglihatan kita tidak berfungsi dengan baik? Jangan rendah diri begitu. Saya juga dulu merasa seolah dunia telah berakhir dengan berkurangnya penglihatan saya. Pernah pula saya marah dan memprotes jalannya kehidupan ini. Mengapa mesti saya yang mengalami ini? Pada masa-masa itu sering saya teringat dengan masa-masa dimana penglihatan saya masih normal. Tidak rela rasanya jika saya harus mengalami ini karena prestasi saya pada saat bersekolah dulu bisa dibilang cukup memuaskan. Rasanya semua itu sia-sia. Segalanya hilang dari tangan saya tanpa bisa dicegah. Namun pernah ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Ketunanetraan yang menimpa saya dan jutaan manusia lain di dunia ini hanyalah bagian dari keanekaragaman yang mewarnai hidup manusia termasuk saya sendiri.
Kisah awalnya dimulai sekitar dua puluh satu tahun yang lalu. Saat itu saya terlahir ke dunia dengan kondisi kesehatan yang normal dan bahkan bisa dikatakan sangat baik sehingga tidak ada yang menduga bahwa saya akan mengalami apa yang saya alami sekarang ini. Hari-hari saya lewati sebagaimana lazimnya anak-anak. Bermain, belajar dan kegiatan lainnya diisi dengan keceriaan tanpa sedikitpun tampak tanda-tanda yang tidak wajar pada tubuh saya hingga menginjak usia tiga tahun. Saat itu saya mendadak lumpuh tanpa ada seorang pun yang mengetahui penyebabnya. Sejak itu orang tuaku mencoba segala macam cara untuk menyembuhkanku. Mereka membawaku ke mana-mana hingga dapat dikatakan bahwa seluruh rumah sakit di Bandung tempat tinggalku pada waktu itu tidak ada yang luput dari usaha orang tuaku untuk berobat. Tidak ketinggalan tempat-tempat praktek pengobatan alternative pun kami singgahi demi mendapatkan kembali kesehatanku. Berbulan-bulan sudah semua usaha itu dijalani tanpa ada perubahan.
Kami mulai mendapatkan titik terang ketika sebuah rumah sakit di Bandung mendiagnosis bahwa aku menderita hydrocephalus. Dokter yang menanganiku mengatakan bahwa jumlah cairan yang diproduksi oleh otakku meningkat hingga menekan otak itu sendiri. Jalan satu-satunya untuk memperbaiki kondisiku adalah mengurangi tekanan itu melalui operasi. Untuk mengurangi cairan yang berlebih tersebut tubuhku dipasangi selang di bagian kanan yang berfungsi menyalurkan kelebihan cairan dari otak ke ginjal agar dapat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk urin. Tindakan itu berhasil membuatku kembali sehat sekalipun tidak sepenuhnya kembali seperti sediakala. Sisa-sisa kelumpuhan itu masih tampak hingga sekarang berupa gangguan keseimbangan tubuh. Bila diperhatikan ada sedikit perbedaan antara tubuh bagian kiri dan kananku. Syaraf yang mengatur tubuh bagian kananku tidak berfungsi sebaik bagian kiri tubuhku sehingga kini bila membaca menggunakan huruf Braille tangan kirilah yang digunakan karena dapat meraba dengan lebih akurat dibandingkan tangan kanan. Aku juga agak kesulitan untuk mendeteksi arah suara yang terdengar karena telinga kananku tidak berfungsi. Demikian pula dengan wajah dan rahang. Otot-otot wajah bagian kananku tidak bisa bergerak sempurna sehingga terlihat seperti para penderita stroke. Namun di luar semua itu tidak ada gangguan pada tubuhku, sesuatu yang sangat kusyukuri. Aku tetap dapat hidup normal seperti orang-orang lain di sekitarku.
Begitu pula ketika tumor yang masih mengendap di kepalaku kembali berulah ketika menginjak usia lima belas tahun. Rupanya sang tumor itu sendiri juga mengeluarkan cairannya sendiri yang mulai menyebar ke bagian lain kepalaku dan menekan syaraf yang mengatur penglihatan. Saat itu tubuhku kembali harus menerima selang yang kini dipasang di sisi satunya yaitu di sebelah kiri. Sejak itulah aku menderita gangguan penglihatan atau low vision. Dan itu masih tetap berlanjut hingga sekarang. Namun setelah mempelajari beberapa keterampilan yang diperuntukkan bagi tunanetra aku kembali dapat menjalani kehidupan dengan normal senormal yang mungkin terjadi dalam hidup. Dengan proses belajar yang terus-menerus bukan mustahil kita dapat meraih prestasi melebihi orang-orang lain. Sekali lagi bersemangatlah karena dengan semangat kita dapat melakukan segala sesuatunya dengan baik. Buat rekan-rekan tunanetra baru jangan berpikir bahwa dirimu tak berguna. Itu penyakit yang amat fatal melebihi penyakit apapun yang menyerang tubuh kita.
OK, begitulah pengalamanku. Aku cerita begini bukan karena narsis ya…Mungkin ada yang akan berpikir bahwa tidak sepantasnya aku menceritakan pengalamanku sendiri. Namun aku ingin memberikan semangat pada rekan-rekan penyandang disabilitas khususnya tunanetra bahwa dengan kreativitas kita dapat hidup mandiri dan berkarya sesuai kemampuan kita walaupun dengan cara yang sedikit berbeda dengan rekan yang tidak memiliki gangguan penglihatan. Apapun yang kita alami tidak akan dapat menghalangi cita-cita dan tujuan kita. Dan satu lagi yang paling penting kita harus selalu bersyukur atas apa yang dianugerahkan Yang Mahakuasa kepada kita karena bagiku syukur itu adalah pangkal dari semangat yang akan membawaa kesuksesan dalam segala bidang kehidupan. Ya, barangkali sekian dari saya. Semoga tulisan ini bermanfaat. Sampai ketemu lagi.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar