“Buku adalah jendela dunia”. Demikian
bunyi ungkapan yang sudah amat akrab di telinga kita. Ungkapan ini lahir
didasari pemikiran, bahwa hanya dengan membaca berbagai macam buku, kita dapat
memperoleh banyak pengetahuan. . Tak jarang pula yang mengakui, bahwa bukulah
yang membuat seseorang terinspirasi akan suatu hal. Setelah membaca sebuah
buku, lantas seseorang mulai berani bermimpi, kemudian melangkah untuk
mewujudkan mimpi-mimpi itu, hingga menjelma menjadi manusia yang lebih berarti
di lingkungannya. Jelaslah, betapa pentingnya kegiatan membaca bagi peningkatan
pengetahuan, wawasan, intelektualitas, bahkan nilai diri seseorang. Sayangnya,
manfaat kegiatan membaca yang demikian besar ini belum dirasakan sepenuhnya
oleh para penyandang tunanetra.
Tanggal 4 Januari merupakan Hari Braille
Dunia (World Braille Day). Hari Braille Dunia diperingati untuk menghormati Louis
Braille, penemu huruf braille yang lahir
pada 4 Januari 1809. Tahun 1824,Braille diciptakan
oleh seorang pria tunanetra, Louis Braille,
ketika ia berusia 15 tahun. Pada saat itu, Louis terdaftar di Royal Institution untuk pemuda
tunanetra di Paris. Dia ingin membaca buku-buku seperti anak-anak lain . Untuk itu, ia berinisiatif menciptakan alfabet taktil yang dapat mempermudah orang-orang tanpa pengelihatan
seperti dirinya agar dapat belajar dan mengakses bahan-bahan bacaan. .
Selama sekitar 200 tahun, tunanetra telah belajar membaca dan menulis dengan menggunakan huruf braille. Braille adalah sistem alfabet taktil dengan 6 titik yang digunakan untuk mewakili huruf, angka dan simbol untuk sebagian besar bahasa di dunia.
Sistem ini memainkan peran penting dalam kehidupan jutaan orang tunanetra di seluruh dunia. Dengan kehadiran huruf Braille, tunanetra dapat
mengakses literatur dan belajar,
sebagaimana orang-orang yang dapat melihat.
Bagi siswa tunanetra, Braille adalah
kunci untuk melek huruf dan bekerja di masa depan. Namun,
undang-undang hak cipta di banyak negara saat ini mewajibkan sekolah-sekolah tunanetra untuk mendapatkan izin terlebih dahulu untuk mereproduksi
buku dalam format yang dapat diakses seperti Braille atau cetak ukuran besar (large print). Jika
negara tidak memiliki pengecualian hak cipta bagi pembaca tunanetra, hal ini menjadi penghalang
utama bagi pendidikan anak-anak tunanetra dan penyandang lemah penglihatan- yang
mungkin tidak mendapatkan akses ke buku-buku dan bahan belajar yang mereka butuhkan.
Buku braille yang dihasilkan oleh organisasi yang melayani tunanetra di satu negara, tidak dapat disebarluaskan ke negara lain. Setiap negara perlu untuk menghasilkan buku aksesibel mereka
sendiri, menciptakan duplikasi dan alokasi anggaran. Duplikasi dan pengeluaran Anggaran ini bisa dikurangi jika buku Braille bisa dibagi di seluruh perbatasan internasional.
World Blind Union (WBU) adalah
organisasi global yang mewakili sekitar 285 juta tunanetra dan penyandang lemah penglihatan
di lebih dari 190 negara di seluruh dunia. Anggotanya, terdiri dari
organisasi yang
dikelola oleh tunanetra yang beradvokasi atas nama mereka sendiri, termasuk organisasi
yang melayani tunanetra, serta organisasi-organisasi internasional yang bekerja di
bidang gangguan penglihatan. Selama beberapa tahun, World Blind Union (WBU) bekerja sama dengan World Intellectual Property Organization (WIPO) untuk membuat perjanjian yang akan menghilangkan
hambatan ini demi pengetahuan dunia. Sebagai hasilnya,
lahirlah Perjanjian Marrakesh (Marrakesh Treaty)
yang diadopsi oleh WIPO pada Juni 2013.
Marrakesh
Treaty adalah
perjanjian hak cipta internasional, Perjanjian ini akan mulai berlaku jika telah diratifikasi
oleh 20 negara. Negara-negara yang meratifikasi Perjanjian akan diminta agar memiliki
pengecualian hukum hak cipta dalam negeri untuk mencetak buku-buku yang aksesibel bagi tunanetra
dan
penyandang lemah penglihatan, seperti buku Braille, tanpa perlu izin dari pemegang
hak cipta. Marrakesh Treaty ini juga memberikan hak pada perpustakaan tunanetra dan
organisasi yang melayani tunanetra untuk berbagi versi aksesibel dari buku dan karya-karya literatur lain,
sekali lagi tanpa izin pemegang hak cipta.
Saat ini, Marrakesh Treaty telah
ditandatangani oleh 81 negara tetapi baru diratifikasi oleh 4 negara, yaitu
India, El Salvador, UEA, dan Uruguay. WBU bersyukur, bahwa keempat negara tersebut telah menyadari
pentingnya perjanjian ini bagi warga negaranya yang menyandang tunanetra dan lemah penglihatan.
Namun untuk membuat perjanjian ini benar-benar efektif, kita perlu semua negara turut meratifikasi. Dengan demikian, jutaan
buku dapat diproduksi dalam huruf Braille maupun format aksesibel lainnya.
Hanya negara-negara yang meratifikasi perjanjian inilah yang dapat menggunakan buku-buku aksesibel
tersebut untuk kepentingan warga negara mereka yang tunanetra.
Mengingat
pentingnya
isi Marrakesh Treaty, maka WBU mendesak semua negara untuk meratifikasi
perjanjian penting ini pada tahun 2015. Hal
ini berarti, pemerintah Indonesia merupakan salah satu pihak yang dimaksud. Pada peringatan Hari
Braille Dunia ini, DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia), sebagai
organisasi tunanetra tingkat nasional, mendorong pemerintah RI agar segera
menandatangani dan meratifikasi Marrakesh
Treaty untuk mempermudah Akses ke penerbitan bahan bacaan bagi para tunanetra dan penyandang lemah penglihatan di
seluruh Indonesia.
Pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR RI
telah menerbitkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang
merupakan pengganti Undang-Undang nomor 19 tahun 2002. Dalam Undang-undang hak
cipta Indonesia, pencetakan buku
untuk tunanetra telah diatur di dalamnya. Pada Undang-Undang nomor 28
tahun 2014, pengaturan itu ada pada pasal 44 ayat 2, yang berbunyi:“Fasilitasi
akses atas suatu Ciptaan untuk penyandang tuna netra, penyandang kerusakan
penglihatan atau keterbatasan dalam membaca, dan/atau pengguna huruf braille,
buku audio, atau sarana lainnya, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta
jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap, kecuali bersifat
komersial.”
Mengacu
pada aturan
tersebut, lembaga yang menyediakan informasi aksessibel dalam bentuk buku bagi
tunanetra, tidak perlu meminta ijin kepada pemegang hak cipta. Yang perlu menjadi catatan,
pembuatan
buku versi aksessibel itu dilakukan dengan menyebutkan sumbernya secara
lengkap, siapa penulisnya, penerbitnya, cetakan ke berapa dan tahun berapa, dan
kegiatan tersebut tidak bersifat komersial.
Namun demikian, aturan ini masih harus
disosialisasikan. Dibutuhkan panduan yang lebih rinci, untuk membuat penulis dan penerbit lebih
memahaminya. Untuk itu, perlu langkah pro aktif dari Pemerintah, dalam hal ini adalah direktorat Hak
kekayaan Intelektual, serta dukungan
komunitas penerbit yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), serta
para penulis.
Bagaimanapun, Hak Membaca adalah hak asasi manusia yang penting bagi semua orang, tak
terkecuali para penyandang tunanetra.
Untuk informasi lebih lanjut:
Aria
Indrawati, Ketua
Umum DPP
Pertuni
Telp: 081511478478 Atau 021-8005480
***