Kamis, 20 Mei 2010

Musda III Pertuni Aceh 16-17 Mei 2010

Musyawarah Daerah (Musda) III Pertuni Aceh diselenggarakan pada tangal 16-17 Mei 2010 di Banda Aceh.
Untuk Dewan Pengurus Daerah masa bakti 2010-2015, terpilih sebagai Ketua DPD adalah Sdr. Sardi Nurdin, dan Sdr. Sardi terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (Deperda).

Kamis, 06 Mei 2010

KY Harus Periksa Hakim yang Vonis Pasutri Buta

KY Harus Periksa Hakim yang Vonis Pasutri Buta

Harian Sumut Pos, 10:54 | Monday, 3 May 2010

MEDAN - Perjalanan hidup pasangan suami istri (Pasutri) penderita tunanetra M Nuh (46) dan Warsiah (45) memancing perhatian banyak pihak. Setelah Menteri
Hukum dan HAM, Patrialis Akbar menyatakan prihatin mengetahui keduanya dipaksa mengaku memiliki ganja 10 kilogram lalu dihukum maksimal di PN Rantau Prapat,
awal 2008 lalu.

Setelah Patrialis Akbar mengungkap dugaan keterlibatan mafia hukum yang mengakibatkan M Nuh dihukum penjara 18 tahun dan Warsiah 15 tahun, mendadak kasus
ini mencuat ke permukaan. Sejumlah pihak meminta majelis hakim, jaksa serta polisi penyidik yang menangani kasus kepemilikan ganja pasutri ini segera diperiksa.

Praktisi hukum Muslim Muis Harahap SH menyatakan, ada sesuatu yang tidak konsisten dalam memutuskan pasutri ini bersalah atau tidak. Faktanya yang menyebut
keduanya buta sejak lahir lalu dihukum masing-masing 18 tahun dan 15 tahun, tidak masuk di logika hukum.

“Hakim sebagai wakil Tuhan di dunia dan memutus perkara ini serasa tidak melihat hal yang meringankan. Orang normal saja diketahui memiliki narkoba bisa
divonis bebas, kini ada pasutri tuna netra dituntut maksimal,” sesal Muslim.

Muis menanyakan, “Di mana logikanya seorang buta menyimpan ganja 10 Kg, uuntuk apa dan bila di jual pun orang buta ini kesulitan menjualnya,” ucapnya.

Lebih lanjut, dia menyebutkan persoalan seperti ini yang menunjukkan kredibilitas pengadilan dipertanyakan, termasuk hakim dan jaksanya. “Tampaknya Ini
tahun kegagalan hukum di Sumut. Kami minta keputusan ini di eksaminasi oleh komisi yudisial (KY),” tegasnya.

Seperti diberitakan, Menkum HAM RI Patrialias Akbar mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tanjung Gusta, Medan Jumat (30/4) lalu. Di LP itu, Patrialias
Akbar menemukan pasangan suami istri yang mengaku tidak bersalah malah dihukum total 33 tahun karena memiliki 10 kg ganja di rumah mereka. “Padahal sampai
sekarang saya tidak tahu bentuk ganja dan seperti apa ganja itu,” ujar M Nuh di depan Patrialis Akbar.

Kepada Patrialis Akbar, M Nuh mengaku ditampar penyidik Polres Labuhan Batu sampai dua kali agar mau menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). M Nuh
diminta mengakui bahwa ganja seberat 10 Kg tersebut adalah miliknya sendiri. Ayah tiga anak yang masih bersekolah ini menyebutkan, menurut polisi, ganja
itu dikmas dalam 10 bungkus dan dimasukkan dalam kotak mie instan dan diletakkan di atas lemari.
“Saya tahunya ada ganja di rumah saya itu, ketika dua orang polisi dari Polres Labuhan Batu datang ke rumah. Di situlah saya diminta mengaku dengan ditampar
dua kali untuk mengakui bahwa ganja ini milik saya, dan saya diminta tandatangan,” paparnya.

Di persidangan PN Rantau Prapat, kata M Nuh, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Parada Situmorang SH meminta mereka mengakui sebagai pemilik ganja itu. Bahkan di
persidangan, majelis hakim juga meminta mereka mengakuinya. “Saya minta tolong kepada Pak Menteri supaya saya dibebaskan,” katanya waktu itu.
Patrialis kemudian berjanji untuk membawa masalah ini ke presiden, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dan Kapolri. “Putusan ini akan menjadi bahannya dalam
pertemuan dengan unsur penegak hukum di Jakarta,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Lapas Tanjung Gusta Kelas I Medan, Samuel Purba mengatakan, bahwa pasutri ini sesuai rekomendasi Menkumham, diberikan fasilitas khusus
untuk tahanan ini. “Sesuai permintaan pak Menkumham kami akan siapkan fasilitas khusus,” tegasnya.

Adapun fasilitas yang akan diberikan, mulai tempat dan makanannya juga akan diberikan secara khusus terhadap napi pasutri Tuna Netra yang merupakan napi
titipan dari lapas Rantau Prapat. (ril)

Sumber:
http://www.hariansumutpos.com/2010/05/ky-harus-periksa-hakim-yang-vonis-pasutri-buta.html

Sabtu, 01 Mei 2010

Seminar Pijat Asia Pasifik di Korea

The “10th WBU Asia Pacific Regional Seminar on Massage” diselenggarakan pada tanggal 3-6 Mei 2010 di Seoul Olympic Parktel di Seoul, Korea Selatan. Ini merupakan ajang konferensi besar bagi para profesional pengajar pijat, operator klinik pijat dan praktisi pijat tunanetra. Konferensi ini akan membahas dan bertukar gagasan tentang teori dan teknik pijat baru, dan perkembangan baru dalam aplikasi pelatihan dan penempatan kerja bagi tunanetra dalam bidang pijat.
Tuan rumah penyelenggara seminar pijat kali ini adalah the Korea Blind Union.
Partisipasi Indonesia dalam seminar tersebut diwakili oleh Tri Bagio, M.Pd., Ketua II Pertuni, didampingi oleh Dedi Simanjuntak, anggota mitra bakti Pertuni, disponsori oleh Nippon Foundation.

Jumat, 30 April 2010

Musda VI Pertuni Sumatra Utara 26-27 April 2010

Musyawarah Daerah VI Pertuni Sumatra Utara diselenggarakan di Medan pada tanggal 26-27 April 2010.
Terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah masa bakti 2010-2015 adalah Sdr. Khairul Batubara, sedangkan Sdr. Abdul Rahman terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah.

Sudahkah Sistem Pendidikan Nasional Memprioritaskan Anak Penyandang Disabilitas?

Renungan untuk Hari Pendidikan Nasional
Oleh Aria Indrawati – Mitra-Jaringan, 30 April 2010

Namanya Balqiz balika Utami, biasa dipanggil
Balqiz.
Gadis cilik berusia 4 tahun, kembaran dari Alifah Aishah Utami . Tak seperti saudara kembarnya, Balkiz mengalami kebutaan karena ROP – Retinopathy Of Prematurity; pembentukan retina yang tidak sempurna akibat kelahiran premature. Lebih dari dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Terakhir kali ia berumur sekitar 13 bulan dan baru belajar berjalan. Saat ini Balqiz telah tumbuh menjadi anak yang cerdas, mampu merespond situasi di sekitarnya dengan baik dan sangat percaya diri, luar biasa. Itu semua buah dari sikap dan perlakuan orang tua yang juga luar biasa.

Primaningrum, Ibunda Balqiz, juga sama dengan ibiu-ibu yang lain pada awalnya. Saat mengetahui satu dari dua anak kembarnya mengalami kebutaan akibat kelahiran premature, merasa sedih, dan bingun, bagaimana masa depan si bayi yang tak berpenglihatan ini kelak. Kebingungannya menjadi bertambah saat tidak tersedianya informasi yang dapat diperoleh dengan mudah tentang bagaimana mengasuh bayi yang tidak berpenglihatan; bagaimana mengajarinya berjalan, memperkenalkan benda-benda di sekitarnya, bagaimana pendidikannya, dan lain sebagainya.

Namun, ibu dari anak kembar ini akhirnya berhasil melewati masa kritisnya, dapat menumbuhkan sikap positif tentang anak tunanetranya pada dirinya, bahwa kehadiran Balqiz di tengah keluarga merupakan karunia tak terhingga, dan kemudian secara perlahan tapi pasti mulai belajar bagaimana menjadi ibu yang baik untuk Balqiz. Berbekal sikap positif inilah Primaningrum kemudian “mencari informasi”, dan internet menjadi solusi untuknya. Namun, berapa banyak Ibu yang seperti ini di Indonesia? Sebuah pertanyaan besar.

Kini sudah tiba waktunya Balqiz memasuki taman kanak-kanak -- TK, setelah selama dua tahun – sejak usia 26 bulan hingga kini -- menjalani tahap persiapan – pendidikan anak usia dini – di SLB Dwituna Rawinala, SLB yang seharusnya diperuntukan anak-anak dengan disabilitas ganda atau bahkan multi disabilitas.

Secara intelektual Balqiz tak bermasalah. Itu sebabnya, baik Rawinala maupun Mitra Netra – lembaga yang menyediakan layanan pendidikan untuk siswa tunanetra, yang selama ini mendampingi Balqiz dan orang tuanya, menyarankan agar Balqiz masuk ke TK umum, bukan TK luar biasa yang hanya khusus untuk anak dengan disabilitas. Dan, pilihan sekolah yang paling tepat adalah yang terletak tidak jauh dari rumahnya (home school). Begitulah filosofi “pendidikan inklusif”; setiap anak, termasuk anak-anak dengan disabilitas seperti Balqiz, memiliki hak untuk “memilih” bersekolah di sekolah umum, yang letaknya tak jauh dari rumah mereka, dan system pendidikan seharusnya didesain agar dapat mengakomodasikan kebutuhan anak-anak dengan disabilitas seperti Balqiz.


Berada disituasi seperti Indonesia saat ini, di saat system belum mendukung dan informasi sangat minim, butuh orang tua dengan kreatifitas dan ketegaran sungguh luar biasa, untuk dapat menyekolahkan anak dengan disabilitas seperti Balqiz ke TK umum, dan bukan TK luar biasa.

Ihtiar yang tidak mudah. Pendekatan ke beberapa TK pun mulai dilakukan, argumentaasi mengapa Balqiz lebih baik belajar di TK umum pun mulai disampaikan, dan penolakan secara tidak langsung pun sudah diterima.

Hal ini tentu tidak akan terjadi jika system pendidikan di Indonesia telah dikembangkan ke a rah system pendidikan inklusi dengan panduan yang jelas. Pada umumnya, sekolah-sekolah umum, termasuk pendidikan anak usia dini – TK, belum mengerti bagaimana seharusnya memberikan pendidikan untuk anak-anak dengan disabilitas, yang maasih memungkinkan belajar bersama-sama teman-teman mereka yang tiddak menyandang disabilitas. Adalah tugas kementerian pendidikan nasional, didukung oleh dinas-dinas pendidikan baik tingkat propinsi maupun kabupaten kota untuk membuat system pendidikan umum yang akomodatif untuk anak-anak seperti Balqiz.

Sistem pendidikan inklusif yang mendorong system pendidikan umum dapat mengakomodasikan kebutuhan anak dengan disabilitas telah diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1998, saat Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional mengadakan perjanjian kerja sama hutang lunak (soft loan) dengan Pemerintah Norwegia; sudah 12 tahun yang lalu. Pusat-pusat layanan untuk mendukung kemandirian belajar siswa dengan disabilitas di sembilan kota di Indonesia telah dibangun. Alat-alat Bantu adaptive dengan harga yang tidak murah pun telah didatangkan, belasan guru praktisi pendidikan luar biasa telah dikirim ke universitas Oslo Norwegia untuk mengambil master degree pendidikan anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusif. Apa hasilnya? Primaningurm, Ibunda Balqiz, dan ratusan ribu atau bahkan jutaan ibu-ibu yang memiliki anak dengan disabilitas lainnya di negeri ini masih mengalami kebingungan dan kesulitan yang sama.

Lalu, ke mana arah kebijakan pemerintah di bidang pendidikan berjalan? Nampak bagus di atas kertas dan kedengaran indah di ruang-ruang konferensi, tapi masih membingungkan untuk Ibunda Balqiz dan jutaan ibu-ibu lain yang memiliki tantangan serupa.

Contoh seorang Balqiz Itu baru di tingkat pendidikan dasar. Belum lagi jika kita bicara soal pendidikan menengah, apalagi pendidikan tinggi.

Berbagai inisyatif dan dukungan dari organisasi non pemerintah tingkat internasional luar negeri yang dilaksanakan melalui rintisan program kerja sama dengan organisasi non pemerintah tingkat local telah dilakukan. Dua di antara organisasi non pemerintah local ini adalah Yayasan Mitra Netra dan Perssatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) yang memperjuangkan kepentingan siswa tunanetra. Melalui inisyatif ini, model-model keberhasilan dalam skala kecil telah diraih. Namun, tentu keberhaasilan kecil ini juga harus direplikasikan, sehingga dapat menyentuh lebih banyak anak-anak dengan disabilitas, dan di sinilah peran pemerintah, sebagai pemegang kebijakan dan pemilik anggaran.

Upaya berkomunikasi dan berdialog dengan kementerian pendidikan nasional terus dilakukan, dan tentu yang diharapkan adalah berbicara dengan Bapak menteri, karena pejabat tinggi setingkat menteri diharapkan dapat melihat segala sesuatu dalam perspektif yang luas. Tapi apa yang terjadi? Disposisi terus mengalir, hingga ke pejabat dengan eselon yang hanya memiliki kewenangan melihat masalah dari satu sudut pandang saja. Menyedihkan. Bagaimana mau membangun system jika masyarakat hanya bisa bicara dengan pejabat pemerintah yang kewenangannya terbatas?

Pada pertengahan bulan Agustus 2010 nanti, komunitas pemerhati dan praktisi pendidikan anak-anak tunanetra akan berkumpul di Thailand dalam sebuah konferensi dunia, yang diselenggarakan oleh International Council of Education for People with Visual Impairment (ICEVI). Di ajang semacam ini, negara-negara di seluruh dunia akan saling berbagi kisah keberhasilan,. Tidak hanya itu, konferensi dunia ini juga akan melakukan evaluasi terhadap pencapaian gerakan “education For All – EFA” atau “pendidikan untuk semua” khusus bagi anak tunanetra.

Memperingati hari pendidikan nasional (hardiknas) tahun ini, mari kita bangsa Indonesia bertanya, berapa persen dari anak-anak penyandang disabilitas usia sewkolah yang bersekolah saat ini? Sudahkah mencapai angka 10 %? Jika belum, langkah apa yang akan dilakukan kementerian pendidikan nasional untuk membawa lebih banyak anak-anak penyandang disabilitas agar mereka juga “duduk di bangku sekolah”? Bukan sekedar duduk tentunya, namun juga mendapatkan pendidikan berkualitas.

Rabu, 28 April 2010

Musda Pertuni DIY Tanggal 24-25 April 2010

Musyawarah Daerah (Musda) Pertuni Daerah Istimewa Yogyakarta diselenggarakan pada tanggal 24-25 April 2010 di Yogyakarta.
Terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah masa bakti 2010-2015 adalah Sdr. Sardi, dan Sdr. Ahmad Soleh, M.Si., terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah.

Sabtu, 24 April 2010

Kita Kehilangan Pak Alim Lindungan

Kita Kehilangan Pak Alim Lindungan.
Alim Lindungan, S.H., berpulang hari ini, Minggu 25 April 2010 pukul 9.30,  di RS Advent Bandung, setelah mengidap gangguan jantung selama beberapa bulan.
Jenazah akan dikebumikan di kota kelahirannya, Semarang.

Pak Alim pernah menjabat sebagai Sekjen Pertuni dan anggota Dewan Pertimbangan Pusat Pertuni.

Selamat jalan Pak Alim, semoga mendapat tempat yang paling damai di sisi Tuhan, terima kasih atas kontribusinya terhadap perjuangan tunanetra Indonesia.