Selasa, 12 Agustus 2014

Aria Indrawati - Mengubah Kegelisahan Menjadi Energi

Oleh Didi Tarsidi

Ia dipilih Tuhan menjadi tunanetra sejak lahir. Itu bukan sebuah kebetulan. Ada misi tertentu di balik takdirnya. Meski pada awalnya ia tak memahami apa misi itu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan kedewasaannya yang tumbuh, akhirnya ia memahami mengapa ia dipilih menjadi seorang tunanetra.

Namanya Aria Indrawati, biasa dipanggil Aria. Sosoknya sedang saja, berkulit sawo matang. Langkah kakinya terdengar tegas, setegas langkahnya dalam menjalani kehidupan ini. Salah satu aktivitas utamanya adalah menjadi pengurus Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Di organisasi ini Aria menjabat sebagai “Ketua III”. Karirnya berorganisasi di Pertuni telah dimulai 20 tahun lalu, di tahun 1994. Saat itu Aria masih berada di semarang, kota di mana ia dibesarkan. Keputusannya bergabung di Pertuni dilatarbelakangi perasaan yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya, perasaan ingin berbagi pada sesama tunanetra, serta ingin berperan membantu agar ada lebih banyak tunanetra yang memiliki kesempatan menikmati pendidikan dan kehidupan yang lebih berkualitas, sebagaimana yang ia nikmati selama ini. Keinginannya pun disambut baik oleh para pengurus Pertuni Daerah Jawa Tengah, yang langsung meminta sarjana hukum tunanetra ini bergabung menjadi pengurus. Pada awalnya ia ragu-ragu, karena ia belum terlalu mengenal apa itu Pertuni, meski ia sudah mendengarnya sejak lama. Namun, keraguannya itu ia tepis dengan keyakinan bahwa ia bisa belajar sambil menjalani tugasnya sebagai pengurus Pertuni. Dan keyakinannya itu tidak salah.

Selama lima tahun menjadi pengurus di Pertuni Daerah Jawa Tengah, dan itu untuk pertama kalinya Aria mengurus organisasi tunanetra, ia belajar banyak hal. Mulai dari kondisi nyata tunanetra di kota tempat tinggalnya dan di Indonesia pada umumnya, yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya, hingga kondisi Pertuni sebagai organisasi tunanetra yang berskala nasional. Salah satu hal yang paling menggelisahkannya kala itu adalah saat ia mengetahui bahwa, di Semarang, ibukota propinsi Jawa Tengah tempat ia dibesarkan, masih ada banyak tunanetra yang tidak berpendidikan, atau, kalaulah berpendidikan hanya sampai sekolah dasar. Tunanetra yang memiliki kesempatan menempuh pendidikan tinggi seperti dirinya masih sangat langka saat itu. Saat itulah Aria berpikir, pasti ada yang tidak beres dengan negeri ini.

Perempuan tunanetra yang gemar membaca dan melakukan perjalanan ini tidak membiarkan Kegelisahan itu tinggal di hatinya. Ia mengubah kegelisahan itu menjadi energi untuk berbuat sesuatu. Bersama pengurus Pertuni Jawa Tengah lainnya, Aria berhasil meyakinkan anggota Komisi E DPRD Tingkat I Jawa Tengah hingga pada tahun 1996 Pertuni Daerah Jawa Tengah berhasil mendapatkan alokasi dana dari APBD untuk pembiayaan program pemberdayaan tunanetra. Keberhasilan yang ia rintis ini masih terus berlanjut hingga periode kepengurusan berikutnya.

Setelah hijrah ke Jakarta, pada tahun 2004 Aria bergabung dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Pertuni. Di tingkat pusat, kiprahnya tentu lebih luas. Sebagai penyandang low vision atau tunanetra kategori lemah penglihatan, Aria berhasil mewarnai layanan untuk mereka yang menyandang low vision, yang selama 8 tahun dikoordinatori Pertuni. Layanan yang semula identik dengan penggunaan alat bantu, kini telah dikembangkan menjadi layanan yang lebih demokratis, lebih berorientasi kepada pilihan klien yang dilayani.

Karya yang telah memberikan kontribusi berarti bagi tunanetra di Indonesia adalah saat Ketua Umum Pertuni Didi Tarsidi menugasinya memimpin proyek kampanye untuk meningkatkan akses tunanetra ke pendidikan tinggi. Hingga tahun 2014, kegiatan proyek ini – yang dilaksanakan melalui kerja sama dengan sebuah organisasi berskala global ICEVI – International Council of Education for People with Visual Impairment - telah menjangkau 9 kota. Berbagai kegiatan diselenggarakan. Membangun pusat layanan bagi mahasiswa tunanetra di universitas, menerbitkan buku best practice atau praktik terbaik bagaimana mengelola pusat layanan untuk mahasiswa tunanetra di universitas, pelatihan menyiapkan siswa tunanetra yang duduk di bangku SMA memasuki perguruan tinggi, seminar mensosialisasikan pendidikan tinggi yang inklusif, hingga mendampingi kementerian pendidikan melahirkan peraturan menteri tentang pendidikan tinggi yang inklusif. Program ini juga telah berinisyatif mempertemukan wakil-wakil mahasiswa tunanetra di seluruh Indonesia pada bulan Oktober 2013. Pertemuan yang baru pertama kali diselenggarakan di Indonesia ini diikuti oleh 40 mahasiswa dari 12 kota di Indonesia. Dari pertemuan tersebut, muncul inisyatif dari para mahasiswa untuk menyatukan diri dalam sebuah asosiasi atau perhimpunan, sebagai tempat di mana mereka berbagi ide dan pengetahuan serta pengalaman untuk meningkatkan kualitas diri sebagai generasi penerus.

Proyek yang didanai oleh The Nippon Foundation – sebuah lembaga donor asal Jepang ini telah menginspirasi banyak pemangku peran terkait. Siswa tunanetra bersemangat melanjutkan pendidikan ke universitas. Dosen dan rektor terinspirasi membangun kampus mereka menjadi universitas yang inklusif. Proses penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri yang semula masih mendiskriminasikan tunanetra, kini telah mulai diperbaiki. Orang tua yang memiliki anak tunanetra memahami pentingnya pendidikan tinggi bagi anak tunanetra mereka. Mahasiswa tunanetra bersemangat menyelesaikan studi mereka karena ada dukungan alat bantu teknologi. Hingga pembuat kebijakan yang menyadari bahwa seharusnya ada peraturan yang secara khusus mengatur ketersediaan layanan khusus bagi mahasiswa penyandang disabilitas di perguruan tinggi.

Di akhir masa jabatannya sebagai Ketua III DPP Pertuni periode 2009-2014, Aria kembali memainkan peran penting sebagai salah satu representasi tunanetra di Indonesia. Ia – mewakili Pertuni – menjadi anggota kelompok kerja yang terdiri dari wakil-wakil organisasi disabilitas dan pemerhati isu disabilitas, yang mendapat mandat menyusun naskah rancangan Undang-Undang Disabilitas baru. Undang-Undang ini akan menggantikan Undang-Undang yang ada – yaitu Undang-Undang nomor 4 tahun 1997, yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi di negara kita. Dengan berkesempatan duduk sebagai penyusun naskah rancangan undang-undang disabilitas, yang berarti berkesempatan bekerja bersama anggota DPR berikut para tenaga ahli mereka, tunanetra yang gemar olahraga ini memiliki kesempatan untuk menuangkan gagasan yang selama ini tersimpan di hati dan pikirannya. Beberapa gagasan tersebut adalah adanya komisi nasional yang mengurus persoalan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, adanya kartu disabilitas atau yang di luar negeri biasa disebut “disability card atau disability certificate”, serta hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan “konsesi” atau potongan biaya di aspek kehidupan yang mendasar, misalnya perumahan, pendidikan tinggi, air dan listrik, transportasi, rekreasi dan sebagainya.

Telah banyak yang Aria lakukan melalui keaktifannya sebagai pengurus Pertuni. Namun, ia merasa masih ada banyak hal lagi yang harus ia lakukan. Bagi Aria, perjuangan masih panjang. Saat ditanya apa lagi yang ingin ia lakukan, Aria menarik nafas dalam-dalam sebelum menjelaskan. Itu ekspresi kegelisahan hatinya. “Saya ingin ada lebih banyak tunanetra di negeri ini masuk ke kelas menengah. Untuk itu, perlu ada langkah afirmatif guna mempercepat pemberdayaan tunanetra, terutama di bidang pendidikan maupun ekonomi.”

Aria menjelaskan, bahwa perlu ada dukungan khusus agar tunanetra dapat mengelola dan mengembangkan usaha sendiri, sesuai minat dan kemampuan mereka masing-masing. Pemberdayaan ekonomi melalui Kewirausahaan akan menjadi solusi guna mengentaskan tunanetra dari kemiskinan.

Aria juga menjelaskan bahwa, Kita juga tak dapat mengingkari masih rendahnya kualitas pendidikan sebagian besar tunanetra di Indonesia, terutama di luar pulau jawa. Hal ini berdampak pada Pertuni sebagai organisasi tempat tunanetra berhimpun. Kualitas pengurus Pertuni di daerah di mana pendidikan tunanetra masih lemah juga masih jauh dari yang diharapkan. Akibatnya, mereka harus bekerja ekstra keras untuk dapat menjalankan tugas sebagai pengurus Pertuni dengan baik. Untuk itu, perlu ada langkah afirmatif guna mencetak lebih banyak tunanetra berpendidikan tinggi, khususnya di daerah di mana pendidikan tunanetra masih lemah.

“Jika tunanetra di Indonesia telah menikmati pendidikan berkualitas, dan jika mereka juga berdaya secara ekonomi, tahap selanjutnya adalah mendorong agar para tunanetra dapat mengembangkan diri di bidang apa pun, termasuk bidang politik, misalnya menjadi anggota legislatif atau menjadi pejabat publik di sektor pemerintahan,” tambah Aria.

Impiannya memang besar. Untuk mewujudkannya, tentu juga membutuhkan energi yang besar. Nampaknya Aria sangat yakin, bahwa bersama Pertuni ia akan dapat mewujudkan impian-impian itu. “Saya tidak takut bermimpi”, katanya sambil tersenyum lebar. Aria percaya, jika kita memiliki keinginan yang baik, Tuhan akan mengirimkan orang-orang baik untuk membantu mewujudkan impian-impian itu. Di sinilah kekuatan Aria sebagai pemimpin. Berani bermimpi dan menyatakan impiannya kepada orang lain. Selanjutnya, melakukan upaya untuk menggerakkan sebanyak mungkin orang, bekerja sama dengannya untuk mewujudkan impian-impian itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar