Mentri
Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Mentri No.
46 tahun 2014 tentang pendidikan khusus dan layanan khusus di perguruan tinggi
dan pentingnya PLD di perguruan tinggi. Peraturan tersebut memandatkan agar pemerintah mengalokasikan
anggaran pendidikan tinggi untuk memfasilitasi
kebutuhan mahasiswa disabilitas. Fasilitas yang dimaksud di antaranya keharusan
adanya PLD di
setiap universitas, serta menyelenggarakan pelatihan, baik bagi tenaga akademik
maupun non akademik agar mempunyai kemampuan melayani penyandang disabilitas.
Di Indonesia
sudah ada dua universitas yang memiliki Pusat Layanan Disabilitas (PLD) , yaitu
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang. Dalam salah
satu sesi Pertemuan Lanjutan Mahasiswa Tunanetra yang diselenggarakan tanggal
23-25 Oktober 2014 di Jakarta, Pertuni pun menghadirkan Arif Maftuhin, Direktur
PLD UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada kesempatan tersebut Arif banyak membagi
informasi kepada mahasiswa tunanetra mengenai PLD yang ia kelola.
Arif
memaparkan, bahwa universitas-universitas di luar negeri memiliki PLD, sehingga
kebutuhan khusus para mahasiswa disabilitas pun terjamin. Hal ini bertolak
belakang dengan situasi di Indonesia, di mana para mahasiswa disabilitas
berjuang sendiri untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka dalam proses
perkuliahan. Inilah yang kemudian mendorong Arif bersama rekan-rekannya untuk
mendirikan PLD di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada tahun 2006.
“Tiga orang teman kami
yang baru pulang dari Kanada menemui teman-teman tunanetra lalu mereka berbincang untuk
membangun barisan volunteer, yaitu
orang – orang yang
peduli untuk membantu tunanetra,”
kata Arif, menjelaskan langkah awal pendirian PLD di kampusnya. Lewat upaya
itu, terkumpulah tiga kelompok, yaitu : dosen, penyandang disabilitas yang
bersedia berpartisipasi
dan teman teman dari penyandang
disabilitas tersebut yang peduli.
Di UIN Sunan Kalijaga
terdapat 50 orang penyandang disabilitas, yaitu 12 tunarunggu, 2
tunadaksa, dan sisanya tunanetra. Arif
mengakui, bahwa dalam mempersiapkan PLD, Arif dan rekan-rekannya bermodal
“nekat”.
“Kampus kami menerima orang difable,
dari situ kami akan mengerti apa yang mereka butuhkan,” jelas Arif. Contohnya, mereka menerima
mahasiswa berkursi roda. Dengan menerima mahasiswa tersebut, pihak kampus
menyadari, bahwa dibutuhkan toilet yang aksesibel dengan pengguna kursi roda.
Akhirnya, pihak kampus pun memperbaiki infrastruktur gedung, sehingga memiliki
toilet yang aksesibel. “Bayangkan jika tidak ada tunadaksa,
mungkin toilet tidak akan pernah dipugar,” tambahnya.
Menurut Arif,
sebuah kampus hendaknya terlebih dahulu memberi kesempatan bagi mahasiswa
disabilitas untuk berkuliah di kampus tersebut. Jika mahasiswa disabilitas
sudah ada, maka PLD dapat mengadvokasi kebutuhan khusus disabilitas tersebut.
“Kita bisa minta pengadaan printer Braille, tapi harus terlebih dahulu memiliki
mahasiswa tunanetra yang memang menjadi pengguna dari printer Braille. Jika
belum ada mahasiswa tunanetra, tentu pengadaan printer Braille tidak dapat
dilakukan,” jelasnya.
Advokasi adalah
tindakan yang perlu terus dilakukan
dalam menyadarkan masyarakat mengenai hak-hak ppenyandang disabilitas.
Berdasarkan pemikiran itu, Arif pun tak bosan-bosannya melakukan serangkaian
upaya sosialisasi. UIN Sunan Kalijaga sudah pernah mencoba mengundang rector
dari kampus-kampus lain guna mensosialisasikan pentingnya pengadaan PLD.
Sayangnya, upaya ini masih kurang mendapat tanggapan serius dari kampus-kampus
lain. “Yang datang kebanyakan adalah utusan-utusan rector sehingga kurang memahami materi yang
disampaikan.”.
Masih ada upaya
lain yang Arif lakukan dalam mensosilisasikan
kebutuhan mahasiswa disabilitas. Misalnya, pelatihan terhadap dosen yang
mengajar mahasiswa disabilitas. Pelatihan ini dilakukan setiap semester guna
memberikan pemahaman kepada dosen di UIN Sunan Kalijaga agar dapat memahami
bagaimana mengajar mahasiswa disabilitas. Selain itu, PLD juga selalu
memberikan surat pengantar mahasiswa disabilitas kepada dosen-dosen yang nantinya akan
mengajar di kelas-kelas yang terdapat mahasiswa disabilitas. Dalam surat
tersebut, dijelaskan keberadaan mahasiswa disabilitas di kelas-kelas tertentu,
apa ragam disabilitasnya, serta apa kebutuhan khusus yang ia perlukan selama
proses belajar mengajar.
Agaknya sesi
mengenai PLD ini cukup menarik perhatian peserta Pertemuan Mahasiswa Tunanetra.
Terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang muncul pasca paparan yang disampaikan
oleh Arif. Hal ini menjadi suatu indikasi positif, bahwa para mahasiswa
tunanetra ternyata memiliki kepedulian untuk melakukan langkah perubahan di
kampus masing-masing. Bagaimanapun, serangkaian upaya yang dilakukan oleh PLD
tidaklah cukup, bila mahasiswa disabilitas sendiri tidak turut bergerak untuk
menyuarakan haknya. Dalam hal ini, sosialisasi merupakan hal yang sangat
penting untuk dilakukan. Orang lain tidak memahami kebutuhan penyandang
disabilitas, namun penyandang disabilitas itu sendiri juga perlu ikut bersuara
agar orang lain memahami kebutuhannya. Bagaimanapun, jika kebutuhan kita tidak
dikenal, maka orang lain tidak akan tahu tentang diri kita.
***
Humas DPP Pertuni,
Ramadhani Ray