“kalau
kita ingin negara ini menghargai disabilitas, maka mahasiswa harus ikut
melakukan sesuatu. Kalau kita diam saja,
tidak menyuarakan hak kita, maka tidak akan ada orang yang mau menengok ke
kita.”Itulah sederet kalimat yang dituturkan Aria Indrawati, Ketua Umum DPP
Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) saat pembukaan kegiatan Pertemuan Lanjutan
Mahasiswa Tunanetra Indonesia, dengan tema “Generasi Muda Tunanetra Pemimpin
Masa Depan Indonesia” di Jakarta (23/10)
Menurut
data yang tercatat di Pertuni, dari 3,6 juta tunanetra di Indonesia, hanya
sekitar 200 orang yang menempuh jenjang pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi.
Sungguh jumlah yang amat miris. Seandainya instansi pendidikan bersedia memberikan
kesempatan serta memfasilitasi kebutuhan khususnya, penyandang tunanetra pun
mampu bersaing dengan orang-orang non-tunanetra, serta bermanfaat bagi
lingkungannya.
Tingkat
peradaban suatu negara dapat diukur dari sejauh mana negara tersebut menghargai
disabilitas. Faktanya, mengakses penidikan tinggi merupakan hal yang masih
sulit diperoleh tunanetra di Indonesia. Masih sangat banyak universitas di
tanah air, baik negri maupun swasta yang menolak kehadiran mahasiswa tunanetra.
Salah satu tunanetra yang pernah mengalaminya, yaitu Santi Puspita. Santi
menceritakan, bagaimana ia menerima penolakan dari salah satu kampus swasta di kawasan Lenteng Agung,
Jakarta Selatan. Santi ingin mendaftar di kampus tersebut, karena ia mendengar
bahwa di kampus tersebut memiliki kualitas yang baik pada jurusan komunikasi
-bidang yang ia minati. Awalnya, kampus tersebut memberikan respon yang baik
dengan meminta Santi menyerahkan surat rekomendasi dari salah satu yayasan
rehabilitasi tunanetra, bahwa ia telah menguasai program Microsoft Office
dengan perangkat lunak pembaca layar pada komputernya. Beberapa waktu menunggu
kepastian dari pihak kampus, Santi justru menerima penolakan. Menurut Santi,
kampus tersebut menolak karena mereka belum bisa memberikan fasilitas bagi mahasiswa
tunanetra. “Padahal saya sudah bilang, saya bisa menggunakan laptop saya
sendiri, tapi tetap ditolak,” ujarnya.
Saat
ini, Santi tengah menempuh pendidikannya di jurusan komunikasi Universitas
Nasional. Meski demikian, penolakan yang pernah dialaminya menjadi pengalaman
tersendiri. Hal-hal semacam inilah yang kemudian menndorong DPP Pertuni untuk
melakukan pembinaan agar para pemuda tunanetra, khususnya mahasiswa dapat ikut
menyuarakan kebutuhannya di masyarakat.
Pemuda
adalah calon agen perubahan, tidak terkecuali pemuda tunanetra. Oleh karena
itu, DPP Pertuni menitipkan masa depan disabilitas pada para mahasiswa
tunanetra. Mempersiapkan hal tersebut, maka DPP Pertuni mulai berinisiasi untuk
melakukan pembinaan terhadap mahasiswa tunanetra, salah satunya melalui
forum-forum pertemuan antar mahasiswa tunanetra seperti yang diselenggarakan tanggal 23-25 Oktober 2014 di
Jakarta.
Pada
Pertemuan Mahasiswa Tunanetra yang diadakan tahun 2013, para mahasiswa
tunanetra yang hadir bersepakat untuk membentuk Asosiasi Mahasiswa Tunanetra
guna mendorong para mahasiswa tunanetra untuk lebih berperan aktif dalam mengampanyekan pendidikan tinggi yang
inklusif di daerah masing-masing. Selain itu, kehadiran Asosiasi Mahasiswa
Tunanetra juga diharapkan dapat menjadi wahana dalam melahirkan kader
pemimpin tunanetra di masa depan. Maka,
melalui Pertemuan Lanjutan Mahasiswa Tunanetra yang diselenggarakan kali ini,
diharapkan dapat semakin mengerucutkan implementasi asosiasi mahasiswa
tunanetra, beserta program-program kerjanya.
***
Humas DPP
Pertuni,
Ramadhani
Ray
Tidak ada komentar:
Posting Komentar