Kamis, 25 Desember 2008

Keterbatasan yang (Mestinya) tak Membatasi

PIKIRAN RAKYAT, Minggu, 3 Agustus 2008

HAMPIR saja cita-cita kuliah, gagal. Wijaya, hampir ditolak masuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Alasannya, karena ia tunanetra.
Seperti dikutip dari Detik.com, Wijaya, lulusan SMAN 66 Jakarta Selatan, lulus ujian masuk bersama (UMB) Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah. Akan tetapi, saat daftar ulang, semua biaya yang ia sertakan dikembalikan pihak universitas dengan alasan tunanetra.
Wijaya didukung beberapa organisasi tunanetra, seperti Mitranetra dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Lembaga-lembaga itu lantas mengirimkan surat kepada pihak universitas pada 15 Juli 2008. Dengan alasan miskomunikasi, UIN Syarif Hidayatullah pun memanggil kembali Wijaya.
Untuk diketahui, sejak 1980, UIN tiap tahun menerima mahasiswa tunanetra. Saat ini, ada empat mahasiswa tunanetra yang tengah belajar di kampus tersebut.
Di waktu lain, Mangaranap Simamora, tidak diperkenankan mengikuti kuliah di Program Studi Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan (FKIP) Universitas Pasundan, tahun 2006. "Saya mendapat penjelasan bahwa banyak tunanetra di tempat itu yang tidak menyelesaikan kuliahnya dan tidak lapor ke kampus," ujar Mangaranap menirukan penjelasan yang diterimanya dari kampus.
Alhasil, ia menganggur satu tahun. Baru pada usianya yang menginjak 23 tahun, ia mendaftar ke Universitas Islam Nusantara. Kali ini, ia mencoba ke jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan diterima. "Saya tidak ingin mengambil bahasa lagi. Karena takut mengalami hal yang sama seperti di Unpas," katanya.
Saat dikonfirmasi, pihak informasi FKIP Unpas mengatakan bahwa mereka masih membuka pendaftaran untuk kalangan tunanetra. Menurut petugas di sana, ada mahasiswa tunanetra yang akan lulus. Dan, memang beberapa lulusan tunanetra dari FKIP Unpas ada yang menjadi guru.
Di tempat lain, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia dari kalangan tunanetra, beberapa di antaranya mendapat pengalaman buruk. Pada saat ujian tengah semester, Sabinus Ngadu, mendapati kertas ujiannya tidak diperiksa dosen pengajar. Alasannya, karena Sabinus menggunakan huruf braille dalam pengerjaan tugas tersebut. Hasilnya, Sabinus mendapat nilai "lebih baik" daripada sebuah angka nol. "Kata dosennya, sudah, nilai mah gampang. Nanti saja," ujar Sabinus menirukan ucapan si dosen.
Diskriminasi dan prestasi
Ini baru sebagian contoh. Wijaya menjadi korban salah paham. Mangaranap, seperti yang diungkapkannya, menjadi korban karena jejak beberapa seniornya yang tidak tuntas menyelesaikan kuliah. Dan, Sabinus korban dari dosen yang tidak mau bertanya tentang braille ke Pusat Layanan Tunanetra yang ada di UPI. Ini baru sebagian contoh dari sekian banyak kasus diskriminasi. "Sebenarnya kami sudah menyediakan layanan dan sukarela membantu jika ada pengerjaan tugas ataupun tugas mahasiswa dalam huruf braille," ujar Ahmad Nawawi, dosen spesialisasi A (spesialisasi tunanetra) di Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) UPI.
Sebelum 1978, pemerintah membuat model pendidikan terpisah antara pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dan kalangan "normal". Khusus untuk pendidikan tunanetra, pemerintah Indonesia membukanya pertama kali pada 1960. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1950 yang berubah menjadi UU No. 12/1954 tentang pendidikan dan pengajaran bagi anak berkelainan dan wajib belajar bagi tunanetra.
Sekolah luar biasa negeri (SLBN) untuk tunanetra berdiri pertama di Jakarta. Pendiriannya sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1962. Menurut catatan lain, sejarah pendidikan anak cacat di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda. Khusus tunanetra, lembaga layanan tunanetra tertua dan terbesar di Indonesia ada di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna. Kompleks seluas 5 hektare ini berdiri sejak 1901.
Rintisan pendidikan tunanetra sendiri sudah dilakukan oleh kalangan pribumi dan Belanda. Pada zaman itu, sistem pendidikannya dipengaruhi politik penjajahan seperti Blinden Colony, setiap tunanetra yang ditemukan ditampung dan dipelihara hingga akhir hayatnya sambil memproduksi kerajinan tangan sebisanya. Bagi kalangan tunanetra keturunan menak, mereka bisa disekolahkan di sekolah Belanda, seperti, HIS dan MULO.
Pendidikan tunanetra yang ada di Indonesia, tidak lepas dari sejarahnya di Eropa. Bedanya, di Eropa sekolah tunanetra muncul karena filosofi kesetaraan.
Mengutip tulisan Didi Tarsidi, yang diterjemahkan dari Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People (1999), pada awalnya sekolah-sekolah ini terutama bertujuan mengajarkan keterampilan-keterampilan kerja.
Kurungan berada di sekolah khusus, menurut Didi, dosen program sarjana dan pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang juga tunanetra, mengungkung pergaulan sosial kelompok tunanetra. Mereka merasa terdiskriminasi ketika kembali ke masyarakat selepas dari sekolah luar biasa.
Dus, kalangan pemerhati mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah terpadu. Dalam konsep ini, siswa dengan ketunaan bisa bersekolah di sekolah umum. Maksudnya, untuk membawa adanya kesetaraan sosial di antara yang tuna dengan yang tidak. Wacana ini terus berkembang dengan munculnya istilah inklusi. Inklusi sendiri meluarkan pengertian ketunaan bukan hanya fisik, tetapi juga anak-anak lain yang memiliki kemampuan khusus untuk bisa masuk di sekolah umum.
Ternyata memang konsep ini bisa menunjukkan bahwa kalangan dengan ketunaan bukan orang yang bisa dianggap sebelah mata. Kekurangan mereka hanya pada fisik, bukan kecerdasan. Banyak dari kalangan tunanetra yang bisa menunjukkan prestasi.
Di Amerika Serikat, sejarah mencatat nama Helen Keller. Seorang penulis, aktivis politik, dan seorang pengajar. Helen bahkan memiliki ketunaan ganda, buta dan tuli. Sebelum ia menjadi siapa-siapa, ia pun sering diteriaki "monster" karena sering berteriak-teriak.
Berkat seorang guru bernama Anna Sullivan, Helen menjadi tokoh berpengaruh di dunia penulisan dan aktivitasnya mengampanyekan kesetaraan yang tuna dan yang normal. Lantas di dunia program komputer, dunia juga mengenal nama Ted Henter. Dialah yang berjasa menciptakan perangkat lunak Job Access with Speech (JAWS), sebuah peranti untuk membaca dokumen komputer. Dia juga seorang tunanetra. Karyanya banyak digunakan oleh kalangan tunanetra di dunia. "Aneh jika masih ada kalangan yang menolak mereka untuk ikut bersekolah atau berada di lingkungan umum," katanya.
Sebelum wacana inklusi masuk di Indonesia, sudah banyak tunanetra yang menunjukkan prestasi. Hanya, masih banyak orang yang tidak mengetahui informasi tersebut dan menganggap orang tunanetra hanya bisa berpredikat tukang pijat atau meminta di jalanan. Padahal fenomena itu tidak melulu dimiliki orang tanpa penglihatan karena yang memiliki kelengkapan fisik pun melakukannya. "Sama saja, kalau malas ya akibatnya tidak bisa menjadi apa-apa," ujar Didi lagi.
Mengenai kendala inklusi, dosen di jurusan PLB UPI, Ahmad Nawawi mengatakan, karena faktor perilaku sosial. Di Bandung, program inklusi sudah dikampanyekan sejak 1998. Ditandai dengan seminar pertama di UPI, diteruskan beragam kampanye. "Persoalannya memang budaya di masyarakat kita," kata lulusan Program Pascasarjana Psikologi Unpad ini.
Kalangan tunanetra Indonesia pun bisa menunjukkan prestasi. Ada seorang penata musik, desainer situs, dan lain-lain. Hal itu ditunjukkan dengan kerja keras dan semangat. Selain itu, ada teknologi yang menolong aktivitas belajar mereka. "Saya mulai dari menabung untuk mendapatkan sebuah komputer. Uang tabungan itu saya peroleh dari kerja saya sebagai seorang musisi dan penata musik di beberapa kafe," ujar Hendra Jatmika Pristiwa, seorang tunanetra yang berprofesi sebagai penata musik.
Hal yang sama dilakukan pula oleh Rizky Harta Cipta. Dia yang sekolah di program magister Hukum Bisnis Unpad ini, sudah sejak lama "menyentuh" laptop. Dari alat itulah ia bisa menyelesaikan pendidikan hingga tingkat magister.
Tak sekadar braille, saat ini kalangan tunanetra juga bisa membaca dokumen dari layar komputer melalui perangkat lunak, walapun masih sulit diakses karena masalah harga."Sudah ada UU-nya, dan seharusnya itu yang diterapkan," ujar Ronald Simanjuntak, juru bicara Forum Mahasiswa Tunanetra Indonesia, mengacu UU Penyandang Cacat dan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Kejadian yang dialami Wijaya, Mangaranap, dan Sabinus, dinilai Ahmad Nawawi sebagai ketidaksiapan pengelola lembaga pendidikan untuk melaksanakan pendidikan inklusif. "Soal rajin atau tidak itu masalah semua orang di Indonesia. Bukan karena kecacatannya. Kuncinya sistem pendidikan bisa mengarahkan," ujar pelatih komputer di Mitranetra ini.

Penulis:
agus rakasiwi
kampus_pr@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar